Sastrawan, Riwayatmu Kini...
Bagai Jamur di Musim Hujan, pertumbuhan sastrawan pun menggeliat. Tepatnya sastrawan telah berdispora, memenuhi ruang-ruang hati penikmat sastra. Bukan hanya di Ibu kota, tapi hampir di seluruh pelosok negri. Sebut saja di kota Medan yang katanya sudah menjadi kota Metropolitan ini.
Munculnya sastrawan-sastrawan baru tak dibatasi oleh usia maupun gender. Suatu saat jika bertandang ke Taman Budaya, di sana kita akan menemukan individu atau kelompok orang yang saling berbagi tentang kecintaan yang sama terhadap dunia Sastra. Mereka hanya sebagian kecil dari sastrawan Sumatera Utara. Masih banyak sastrawan-satrawan lain yang menelorkan karya sastra dalam kesendirian baik dalam bentuk puisi maupun cerpen.
Tolak ukur dari kesuksesan dan legalitas seorang sastrawan, terkait dengan “frekuensi dan kualitas muat” dari karya-karya mereka, khususnya pada media-media cetak, baik lokal mau pun nasional. Ada apa dengan sastra koran di tahun 2009 ini? Benarkah sastra koran hampir usai?(sesuai dengan kalimat Budi P Hetees pada Rebana Harian Analisa, minggu 1 Februari 2009).
Suatu kondisi yang dilematis memang. Ketika para sastrawan menggeliat, koran-koran besar malah menutup ruang yang tersedia untuk memuat buah-buah karya daripara sastrawan lintas generasi. Bagaimana selanjutnya? Haruskah para sastrawan itu menutup wajahnya dengan ke dua telapak tangan untuk menutupi kenyataan, dia tak lagi seorang sastrawan? Ataukah berhenti mendengarkan setiap denyut jantungnya, yang selalu mengalirkan darah sastra ke seluruh pembuluh darahnya?
Kecintaan pada dunia sastra, harusnya tak pudar oleh ditutupnya ruang-ruang sastra pada Media Indonesia, Republika, dan koran-koran lain yang telah dan akan menutup diri untuk sastra dengan alasan manajerial dan bisnis. Tidak perlu bertanya mengapa dan kenapa bisnis menjadi hal yang utama dalam segala aspek, sebab itu memang sudah menjadi hukum ekonomi yang tidak bisa diingkari.
Kondisi seperti ini, seharusnya disikapi dengan baik oleh sastrawan. Tepatnya di terima dengan legowo (meski sempat kecewa). Kita bisa melihat perkembangan sastra dari sisi lain. Sastra Koran memang menjadi media yang paling efektif digunakan oleh sastrawan untuk menunjukkan eksistensi dan kecintaan terhadap dunia tulis menulis yang digawangi oleh unsur budaya. Masih ada bidang lain yang bisa dirambah dengan tetap memperlihatkan cita rasa sastra yang legit. Salah satunya adalah dengan menulis novel atau buku antologi bergenre sastra.
Tidak sedikit rekan-rekan sastrawan kita, mendulang sukses dari novel bergenre sastra. Sebut saja pemuda asal Belitong Andrea Hirata dengan tetraloginya. Bahkan Laskar Pelanginya konon terjual secara best seller, menukik bersama kisah sukses film bertajuk sama, Laskar Pelangi.
Ada lagi Habibburahman atau Kang Abik dengan Ayat-Ayat Cinta yang mendulang sukses baik novel dan film nya. kemudian Ketika Cinta Bertasbih juga laris manis. Kini sedang digarap menjadi sebuah film. Diharapkan mencicipi madu yang sama dengan Ayat-ayat Cinta.
Itu masih segelintir dari banyak kesuksesan. Masih ada Helvy Tiana Rosa, NH. Dini, Pipit Senja dan Tuti Senja yang lebih pantas kita sebut Bunda Satra Indonesia. Tokoh lain yang layak diperhitungkan di jagad sastra novel ada Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan Dewi Lestari. Ketiganya adalah sebagian kecil dari Srikandi Sastra Indonesia yang sukses dengan novel-novelnya.
Dunia internasional, juga kini tak lepas dari kesuksesan karya sastra. Tersebut kisah seorang Vampir yang jatuh cinta dalam film Twilight, diangkat dari novel sastra laris berjudul sama yang kini sedang di putar di bioskop-bioskop tanah air. J. K. Rowling sendiri ketika menulis serial Harry potter yang super sukses, tetap berpalung pada genre sastra. Ada lagi kesuksesan peraih nobel sastra dunia Orhan Pamuk dengan novelnya berjudul My Name is Red.
Sastrawan tak akan lekang oleh waktu, zaman, apalagi hanya oleh diclosingnya ruang sastra pada beberapa media cetak. Tak tertutup kemungkinan kalau kelak -yang sudah dimulai- kecenderungan karya-karya sastralah yang layak dijadikan menjadi sebuah skenario layar lebar. Kita akan menjadi sastrawan-sastrawan yang menorehkan pena di dalamnya.
Memang tidak dapat dipungkiri, menuliskan karya sastra dalam bentuk novel, memiliki tingkat kesulitan berbeda dengan menghasilkan karya sastra dalam bentuk koran. Sulit, bukan berarti tidak bisa. Kesulitan itu akan terbayar dengan tingkat kepuasan dan kebahagiaan seorang sastrawan. Di samping itu, bentuk karya dalam bentuk buku atau novel, tentu lebih dijamin keabadiaanya. Karena tak usai ketika koran itu usai di baca.
Semuanya itu, akan dapat terwujud jika kita mau bermetamorfosis. Bermetamorfosis menuju ciri sastra yang up to date. Karya sastra yang tetap mengusung nilai- nilai luhur dan irama serta warna milik sastrawan era 50-an, 60-an hingga 90-an. Kini kita adalah saksi zaman di era 2000-an yang memberikan kesaksian pda zamannya. Memberikan warisan tentang kondisi sekarang, terhadap generasi mendatang.
Sastra adalah sebuah disiplin ilmu. Berkembang sesuai zaman dan peruntukannya. Berpegang teguh pada aturan-aturan yang tak kaku. Bersifat elastis sesuai dengan tuntutan zaman. Penikmat karya sastra masa kini, tentu bukan lagi mereka yang hidup pada zaman Chairil Anwar, Sultan Takdir Alisjahbana, ataupun para sesepuh sastra yang lain. Kini kita hidup pada zaman dimana para penikmat sastra menginginkan suguhan karya sastra, diracik dengan resep sastra standar, tapi dengan bumbu masa kini. Sebab itu belajar dan terus belajar adalah jenjang upaya untuk sebuah proses pencapaian menjadi seorang sastrawan sejati.
Sebenarnya karya sastra juga dapat dijadikan sarana sumber informasi yang akurat, tentang kondisi yang sedang terjadi saat ini. Bahkan lebih dari itu, dapat digunakan sebagai sarana sumbangsih kita terhadap Ibu pertiwi. Misalnya karya sastra yang didalamnya berkisah tentang kondisi pemanasan global (global warming), meluasnya peredaran narkoba, berjangkitnya virus HIV, krisis ekonomi global, perkembangan teknologi informasi atau bidang-bidang lain. Untuk itu, seorang satrawan harus mengup date diri nya sendiri.
Dengan semua kondisi ini, sebenarnya kita masih tetap menaruh harapan besar pada sastra Koran. Baik yang masih menyediakan ruang untuk sastra (seperti Rebana pada harian Analisa) maupun koran-koran lain. Bahkan kalau bisa jujur, kita masih berharap kalau koran-koran yang sudah meniadakan ruang sastra akan “menyadari kekeliruannya” dan menghadirkan kembali ruang sastra dalam terbitannya.
Alangkah indahnya, andai sastra koran (sastra oplah) dan sastra novel (sastra eksemplar) dapat sama-sama berdispora. Semoga. Andai pun tidak, sastrawan abadi akan tetap berdispora. Saling bergandengan tangan. Bersatu dan saling berbagi ilmu. Dengan demikian tak perlu kita berdendang dengan irama tembang lawas tersohor Bengawan Solo milik Gesang yang liriknya kita gubah dengan “Sastrawan, riwayatmu kini…”
Sebab sastrawan, tidak akan sekedar riwayat, tetapi sebagai sekelompok orang yang tetap berkarya, dulu, sekarang dan nanti.
Oleh : Butet Benny Manurung
Taken From:
http://www.analisadaily.com
Sunday, 22 March 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment