Friday, 27 March 2009

Seni Banyumasan

Memudar di Tengah Kepungan Budaya Kota

Adoh ratu cedhak watu, jauh dari raja dekat dengan batu. Kalimat tersebut cocok untuk menggambarkan eksistensi Banyumas atau wong Banyumas. Secara politik, tak pernah ada raja yang berkeraton di wilayah yang dikelilingi pegunungan ini, yang ada hanya adipati.

Banyumas —sekarang kabupaten di Jawa Tengah— menjadi sebuah daerah perdikan dan negeri ”mancanegara”, baik pada masa Majapahit dan Mataram (Jawa) maupun Padjadjaran (Sunda). Kondisi tersebut membuat wong Banyumas berkesempatan mengembangkan budaya sendiri yang khas dan unik.

Satu unsur budaya yang lekat di masyarakat Banyumas dan masih bertahan hingga kini adalah dialek bahasa ngapak-nya. Konon, dialek ngapak ini adalah bahasa Jawa murni atau bahasa Jawadwipa.

Banyumas juga kaya akan kesenian khas, seperti ebeg, cowongan, lengger, genjringan, ujungan, udhun-udhunan, begalan, memedi sawah, dan kentongan. Seni-seni tersebut agak berbeda dengan seni budaya yang berkembang di Jawa maupun Sunda.

Namun, derasnya pengaruh modernisme kini mulai mengikis eksistensi budaya-budaya lokal tersebut. Pentas lengger, ebeg, dan kenthongan kini mulai jarang terlihat. Kelompok-kelompok seni tradisional pun mulai terpinggirkan.

Sebaliknya, sajian budaya modern, seperti konser musik pop, rock, dangdut, pentas disc jockey, hingga sajian sexy dancer dapat dinikmati hampir setiap minggu di kota ini. Kondisi tersebut seiring maraknya tempat hiburan modern, mulai kafe, diskotek, pub, hingga rumah karaoke.

Hingga tahun 1970-an dan sampai 1980-an, hampir setiap desa di Banyumas memiliki kelompok seni, khususnya kenthongan dan lengger. Mereka secara berkala tampil dalam berbagai kesempatan, seperti perayaan pernikahan, hari besar, hingga merti desa.

Seni, seperti ebeg, kenthongan, cowongan, dan lengger, bagi wong Banyumas kala itu bukan sekadar pentas hiburan, melainkan sebuah tradisi yang menyatukan mereka dengan jati diri mereka sebagai orang Banyumas. Maka tak heran, di masa jayanya, mementaskan kesenian tradisional seakan menjadi kebutuhan warga Banyumas di sela menggelar hajatan, seperti pernikahan, sunatan, atau panen.

Saeran Samsidi, budayawan Banyumas, mengungkapkan, dahulu setiap desa di Banyumas mempunyai kekhasan sendiri terkait tumbuh kembangnya seni tradisional. Ada daerah yang dikenal memiliki budaya kelompok seni ebeg dan lengger. Ada daerah yang dikenal memiliki kelompok seni cowongan yang bagus.

Tak lagi dijumpai

Namun, kini kondisi tersebut tak lagi dijumpai. Kalaupun ada kelompok seni yang masih bertahan, kondisinya kembang kempis. Mereka sekadar bertahan agar seni yang mereka warisi dari leluhur tak punah sama sekali. Kadang hanya sekali dalam setahun mereka pentas.

”Kondisi ini terjadi sejak budaya televisi masuk. Pengaruh global yang hadir dari televisi membuat masyarakat lebih memilih budaya modern. Filsafat budaya lokal pun hilang terlupakan,” ujar Saeran.

Seni budaya lokal pun seolah berjalan dengan lokomotif tua, sementara budaya modern hadir dengan lokomotif superekspres yang ingar-bingar dan menjanjikan ”kekotaan”.

Perumpamaan itu tak berlebihan, para pelaku budaya tradisional di Banyumas kini kebanyakan generasi tua. Sebagai contoh, penggiat seni cowongan di Desa Somagede. Dari sekitar delapan orang yang dikenal sebagai dedengkot cowongan di desa itu, semuanya adalah nenek dengan usia di atas 55 tahun.

Penggiat seni cowongan Banyumas, Titut Edi Purwanto, menuturkan, sebelum pengaruh budaya televisi masuk di Banyumas, hampir setiap desa di wilayah ini memiliki kelompok seni cowongan . Umumnya, mereka adalah perempuan. Cowongan adalah seni tradisional untuk memanggil hujan pada saat musim kemarau. Pementasan biasanya dilakukan saat musim tanam tiba. Seni ini dahulu dapat tumbuh subur di Banyumas karena sesuai dengan karakteristik masyarakat daerah tersebut yang agraris.

Kenyataannya, kini seni cowongan hanya dapat ditemui di Desa Somagede. Itu pun setahun sekali dan pementasannya dilakukan oleh para nini cowong yang sudah nenek-nenek.

”Regenerasi memang menjadi persoalan. Anak muda banyak yang kurang tertarik. Sebenarnya, seni cowongan ini menarik karena unik, hanya saja memerlukan polesan agar menarik generasi muda masa kini. Ini yang menjadi pekerjaan rumah kita semua,” papar Titut.

Upaya modifikasi cowongan tersebut yang kini terus diupayakan Titut melalui kelompok cowongan Syeh Gugat. Beberapa bagian pentas cowongan yang abstrak dibumbui dengan sajian- sajian baru, seperti penampilan genderuwo, tarian, dan musik. Langkah Titut tersebut membuat seni cowongan mulai dilirik lagi. Terbukti saat pertunjukan seni ini di Gedung Kesenian Banyumas baru-baru ini dihadiri 600 orang. Sesuatu yang jarang terjadi dalam pentas seni tradisional di Banyumas, yang sering kali hanya ditonton belasan sampai puluhan orang.

Upaya mempertahankan budaya lokal sebenarnya juga mulai dilakukan sejumlah penggiat seni tradisional lainnya di Banyumas. Hal ini seperti dilakukan Cu`eng Tato dengan teater tradisionalnya dan Johny dengan begalan-nya. Namun, dana menjadi kendala klasik yang selalu mereka alami.

Perhatian pemerintah

Perhatian Pemerintah Kabupaten Banyumas terhadap pengembangan seni lokal ini dinilai masih belum kelihatan.

Bahkan, pada tahun 2008, anggaran rutin Rp 150 juta untuk pengembangan kegiatan seni tak dikucurkan karena pemkab lebih berkonsentrasi membangun proyek fisik semacam Alun-alun Banyumas.

Dinas Pendidikan Banyumas pun belum memasukkan kesenian tradisional sebagai sebuah menu ekstrakurikuler apalagi salah satu bidang ajar. Tak pelak, upaya memperkenalkan seni budaya lokal ke generasi muda pun makin sulit.

Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Dahlar Sodiq, mengatakan, keterpurukan seni tradisional Banyumas merupakan salah satu contoh gempuran globalisasi yang sulit dihindari budaya lokal. Kondisi ini mulai terjadi sejak pembangunan besar-besaran pada masa Orde Baru yang lebih mengutamakan pembangunan fisik daripada budaya.

Selain itu, hadirnya pendatang ke Purwokerto juga berpengaruh terhadap eksistensi budaya lokal. Mereka membawa budaya luar yang kemudian memengaruhi budaya lokal. Maraknya budaya nongkrong di kafe di masyarakat Purwokerto dalam beberapa tahun terakhir adalah salah satu contohnya.

”Sebenarnya ada upaya resistensi dari kelompok-kelompok yang ingin mempertahankan budaya lokal dari kepungan budaya kota semacam ini. Seharusnya mereka harus terus didukung. Pemerintah juga harus berperan lebih aktif,” kata dia.

ditulis oleh: M. Burhanudin

taken from: Melayuonline.com

No comments:

Post a Comment