Sunday 22 March 2009

Ketoprak Jogja

Ketoprak, Portal Budaya Jogja

Ketoprak sebagai salah satu seni tradisional khas Yogyakarta, ternyata tidak mendapat perhatian memadai dari pemerintah setempat. Festival ketoprak antarkabupaten/kota maupun antarmahasiswa yang pernah secara rutin dilakukan beberapa tahun lalu, kini tiada lagi.

Boro-boro ada dana stimulan untuk grup yang masih eksis, yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah daerah (pemda) semakin gigih menarik pajak tontonan yang memberatkan seniman. Yang lebih paradoksal, ketika hasil penjualan tiket pertunjukan ketoprak dalam Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) relatif besar, panitia meminta dua pertiganya untuk menopang biaya pertunjukan kesenian lain yang berlabel "modern".

Terdapat setidaknya tiga penjelasan mengapa pemerintah setempat bersikap demikian. Pertama, eforia dan kadangkala pemahaman otonomi daerah membuat pemda amat terpaku pada upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang secara picik diterjemahkan dengan menarik pajak seserakah mungkin. Belum lama beredar berita bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta merencanakan menarik pajak atas reklame dalam ruang, antara lain yang berbentuk spanduk seminar komersial. Petugas Dinas Pendapatan Daerah Sleman juga tidak kalah semangatnya sehingga rela menerjang hujan pada malam sebuah pertunjukan yang ternyata sepi penonton.

Bukankah semestinya otonomi daerah dipahami lebih sebagai kepercayaan dan kebebasan untuk mengurus, memajukan, memakmurkan, dan menyejahterakan rakyat seutuhnya? Jika demikian, konsep pembangunan Orba yang menempatkan "ekonomi sebagai panglima" perlu direvisi. Selain karena terbukti gagal, semangat reformasi adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat termasuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan setempat. Artinya, mengembalikan hak rakyat untuk berekspresi menyalurkan aspirasi sesuai cara masing-masing dan bukan membungkam atau menyeragamkan demi tujuan (ekonomi) yang digagas hanya oleh pemerintah.

Kedua, sikap gamang menjalankan otonomi ditambah minimnya anggaran membuat pemda "tidak sempat" memikirkan kesenian (apalagi tradisional) dan kebudayaan pada umumnya. Rebutan jabatan, ruwetnya mengatur pegawai yang melimpah, dan minimnya anggaran telah menguras energi mereka.

Ketiga, stigma bahwa ketoprak adalah seninya wong cilik rupanya masih berkecamuk dalam benak banyak pejabat. Buktinya, belum pernah jamuan resmi atau penyambutan tamu yang menampilkan dan menyebut ketoprak sebagai seni khas Yogyakarta. Peristiwa pementasan ketoprak di lingkungan keraton juga masih dapat dihitung dengan jari satu tangan. Bandingkan dengan pementasan wayang dan tari yang notabene sulit diklaim sebagai seni khas Jogja.

Padahal, ketoprak memiliki potensi besar untuk menjadi semacam portal (dalam dunia Internet) bagi kebudayaan Jogja. Sekali melihat pertunjukannya, orang dapat segera paham khazanah budaya Jogja dan Jawa pada umumnya, bukan hanya pada wujud wadhag (fisik) melainkan juga nuansa, spirit, dan bahkan rohnya.

Secara wadhag ketoprak dapat mempertunjukan beberapa hal, yaitu: tata busana Jawa, bangunan dan penataan ruang, perabotan rumah dan aksesori interior, sistem transportasi, dan perlengkapan persenjataan.

Sementara itu kandungan kebudayaan dalam wujud tidak sekadar fisik (nir kasat mata) antara lain tradisi berbahasa, bentuk-bentuk komunikasi nonverbal, pesan sastra dari lakon yang dipertunjukkan, ketoprak sebagai "opera Jawa", dan obyek kajian lain ialah seni tembang dan kerawitan, sebagai pengiring pertunjukan. Yang terakhir, adegan peperangan (massal) bisa menunjukkan ragam strategi perang tradisional (garuda ngleyang, supit urang, glathik neba). Di samping itu, adegan perkelahian (satu lawan satu) dapat menggambarkan benyaknya perguruan bela diri, khususnya pencak silat, berikut ragam jurus yang ada. Belum lagi, bermacam ajian kesaktian yang hingga kini masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Jawa.

Dengan berbagai potensi yang dimilikinya itu ketoprak layak diposisikan sebagai gerbang atau etalase kebudayaan Jogja. Dalam sekali penampilannya, pemda dapat mengekspos banyak aspek kehidupan sekaligus promosi banyak komoditas pariwisata.

Saptopo B Ilkodar Anggota Dagelan Mataram Baru, dan dosen Fisip UPN Veteran Yogyakarta.

Taken from:
Harian KOMPAS, Jawa Tengah, Rabu, 24 April 2002

No comments:

Post a Comment