Tuesday 31 March 2009

The Day She Went Away (task 7)

It happened several years ago, three years ago exactly. At that time, I was in my second semester. My best friend left me forever, and she will never come back to this world.

The story was started when I was in my first grade of senior high school. I had a friend, her name is Ann. She came from a rich family. She never worried about money and everything that she needed because her parent would fulfill it, but her parent did not give her enough care, love and affection. The consequence was in her first year of senior high school, she started to consume drug. She consumed lexotan, magadon, extacy and many kinds of drug and as time goes by, she started to consume putaw and shabu-shabu. As we know, the abuse of those kinds of drug is really dangerous. One time, her parent knew this fact and sent her to the rehabilitation center. Fortunately, she could leave all of them.

After that, she went to my house often; I did not know why it was so because everything flew naturally. In our chat, she told me that she has changed her attitude but her parent did not do the same thing. Every time she came to my house, my parents were very welcome to her because they knew her background and had great empathy with her. After all, we were so close. People always thought that we were a couple, and they were absolutely wrong. I had a girlfriend and so did she. Even tough we had our own mate, we did many things together, such as billiard, hang out and other fun activities. Sometimes we did double date but it was very rare. Day by day passed happily, but one day everything turned to grey and became so gloomy. Firstly, she often felt something strange in her body. Then she met a doctor, and the doctor told her that her lever was broken because of her bad habit in the past. She was very shocked and I told her that everything was going to be all right; later on I realized that I was wrong. She had a surgery, and only God knew why it went wrong. Maybe God wanted her to be on His side. She left me, her family, and all of people who did love her. God, please, place her in the best place You have.

That is all of my story, I am sorry for not telling you the exact date or something in details because I want to forget her last moment on earth and I just want to remember all the sweet things we have done.

Photo of the Week


(click it to see the larger picture)

Semua Ada Batasnya
photographed by sedik

Ketidakterbatasan sesungguhnya menjadi batasan
Bagi mu dan ku
Tinggal kesadaran kita yang berperan

Poem of the Week

Half Moon in a High Wind
by Carl Sandburg

MONEY is nothing now, even if I had it,
O mooney moon, yellow half moon,
Up over the green pines and gray elms,
Up in the new blue.

Streel, streel,
White lacey mist sheets of cloud,
Streel in the blowing of the wind,
Streel over the blue-and-moon sky,
Yellow gold half moon. It is light
On the snow; it is dark on the snow,
Streel, O lacey thin sheets, up in the new blue.

Come down, stay there, move on.
I want you, I don’t, keep all.
There is no song to your singing.
I am hit deep, you drive far,
O mooney yellow half moon,
Steady, steady; or will you tip over?
Or will the wind and the streeling
Thin sheets only pass and move on
And leave you alone and lovely?
I want you, I don’t, come down,Align Center
Stay there, move on.
Money is nothing now, even if I had it.

Lyric of the Week



At Your Side

When the daylight's gone, and you're on your own
And you need a friend, just to be around
I will comfort you, I will take your hand
And I'll pull you through, I will understand
And you know that...

I'll be at your side
There's no need to worry
Together, we'll survive
Through the haste & hurry
I'll be at your side
if you feel like you're alone
And you've nowhere to turn
I'll be at your side

If life's standing still, and your soul's confused
And you cannot find what road to choose
If you make mistakes (make mistakes)
You can't let me down (let me down)
I will still believe (still believe)
I will turn around

I'll be at your side
I'll be at your side

You know that
I'll be at your side
There's no need to worry
Together we'll survive
Through the haste & hurry
I'll be at your side, if you feel like you're alone
You've got somewhere to go
'Coz I'm right there
I'll be at your side
I'll be right there for you
(Together we'll survive)
Through the haste & hurry
I'll be at your side, if you feel like you're alone
You've got somewhere to go
'Coz I'm at your side
Yeeeah, I'll be right there for you
I'll be right there for you yeah
I'm right at your side

performed by The Corrs

click the link below to get the song

the corrs - at your side (Acoustic version)

Friday 27 March 2009

Timbul Meninggal, Tarsan Minta Kibarkan Bendera 1/2 Tiang

Bendera 1/2 Tiang

Jakarta Pelawak legendaris Timbul menghembuskan nafas terakhirnya pada Kamis (26/3). Untuk menghormati almarhum, pelawak Tarsan pun menghimbau supaya masyarakat mengibarkan benderan setengah tiang.

Tarsan mengungkapkan Timbul adalah salah satu tokoh besar yang pantas menjadi panutan. Timbul juga pernah mendapatan gelar kehormatan dari Keraton Solo.

"Saya sudah menghimbau pelawak-pelawak lain bahkan masyarakat untuk memasang bendera setengah tiang, karena dia tokoh besar," ujarnya saat ditemui di rumah duka, Jl. Cendrawasih 8, Slipi, Jakarta Barat, Jumat (27/3/2009).

Menurut Tarsan, Timbul adalah sosok yang tidak akan pernah tergantikan. Tarsan pun mengenang sosok Timbul yang selalu mengajak pelawak-pelawak lain untuk menyisihkan sebagaian honornya untuk ditabung. Timbul percaya karir sebagai seorang pelawak tidak bisa bertahan lama.

"Kenangan yang tak terlupakan dari mas Timbul, dia selalu mengajarkan pelawak-pelawak lainnya untuk menabung di hari tua," kenang Tarsan.

Ditulis oleh: Pebriansyah Ariefana - detikhot

Selamat Jalan Pak Timbul


Pelawak Timbul Meninggal Dunia

 
Jakarta Kabar duka kembali datang dari dunia Hiburan Indonesia. Kamis (26/3/2009) pelawak Timbul menghembuskan nafas terakhirnya. Berita duka itu disampaikan oleh menantunya.

"Iya mas, benar," begitu ujar Mulyani menantu Timbul saat dikonfirmasi oleh detikhot lewat ponselnya, Kamis (26/3/2009).

Berita itu diperkuat lagi oleh keterangan dari teman Timbul sesama komedian, Indro Warkop. Menurut Indro Timbul menghembuskan nafas terakhirnya di RS Pelni, Petamburan Jakarta Barat, siang ini.

Sayang Indro belum bisa menjelaskan waktu tepat kepergian pelawak yang tergabung dalam Srimulat itu.

"Iya mas, di RS Pelni, barusan saja. Waktunya belum bisa dipastikan," ujar Indro lewat ponselnya.

Sejak Januari lalu, Timbul telah menderita kencing manis, kolesterol dan asam urat, dan mengeluh sesak nafas. Ia pun sempat dirawat di Rumah Sakit yang sama. Saat itu Pria berkacamata tersebut sempat jatuh dari kamar mandi karena sakit kepala.

Teman-teman Timbul yang tergabung dalam Persatuan Pelawak Indonesia rencananya akan segera datang ke rumah duka.

ditulis oleh: Pebriansyah Ariefana - detikhot

Kebudayaan Tari Golek Menak Dari Yogyakarta

Golek Menak


Tari Golek Menak merupakan salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Penciptaan tari Golek Menak berawal dari ide sultan setelah menyaksikan pertunjukkan Wayang Golek Menak yang dipentaskan oleh seorang dalang dari daerah Kedu pada tahun 1941. Disebut juga Beksa Golek Menak, atau Beksan Menak. Mengandung arti menarikan wayang Golek Menak.

Karena sangat mencintai budaya Wayang Orang maka Sri Sultan merencanakan ingin membuat suatu pagelaran yaitu menampilkan tarian wayang orang. Untuk melaksanakan ide itu Sultan pada tahun 1941 memanggil para pakar tari yang dipimpin oleh K.R.T. Purbaningrat, dibantu oleh K.R.T. Brongtodiningrat, Pangeran Suryobrongto, K.R.T. Madukusumo, K.R.T. Wiradipraja, K.R.T.Mertodipuro, RW Hendramardawa, RB Kuswaraga dan RW Larassumbaga.

Proses penciptaan dan latihan untuk melaksanakan ide itu memakan waktu cukup lama. Pagelaran perdana dilaksanakan di Kraton pada tahun 1943 untuk memperingati hari ulang tahun sultan. Bentuknya masih belum sempurna, karena tata busana masih dalam bentuk gladi resik. Hasil pertama dari ciptaan sultan tersebut mampu menampilkan tipe tiga karakter yaitu :
1. tipe karakter puteri untuk Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaeli,
2. tipe karakter putra halus untuk Raden Maktal,
3. tipe karakter gagah untuk Prabu Dirgamaruta

Tiga tipe karakter tersebut ditampilkan dalam bentuk dua beksan, yaitu perang antara Dewi Sudarawerti melawan Dewi Sirtupelaeli, serta perang antara Prabu Dirgamaruta melawan Raden Maktal.

Melalui pertemuan-pertemuan, dialog dan sarasehan antara sultan dengan para seniman dan seniwati, maka sultan Hamengku Buwana IX membentuk suatu tim penyempurna tari Golek Menak gaya Yogyakarta. Tim tersebut terdiri dari enam lembaga, yaitu : Siswo Among Beksa, Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja, Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), Mardawa Budaya, Paguyuban Surya Kencana dan Institut Seni Indonesia (ISI).

Keenam lembaga ini setelah menyatakan kesanggupannya untuk menyempurnakan tari Golek Menak (1 Juni 1988), kemudian menyelenggarakan lokakarya dimasing-masing lembaga, dengan menampilkan hasil garapannya. Giliran pertama jatuh pada siswa Among Beksa pada tanggal 2 Juli 1988.

Lokakarya yang diselenggarakan oleh siwa Among Beksa pimpinan RM Dinusatama diawali dengan pagelaran fragmen lakon kelaswara, dengan menampilkan 12 tipe karakter, yaitu :
1. Alus impur (tokoh Maktal, Ruslan dan Jayakusuma),
2. Alus impur (tokoh Jayengrana),
3. Alur kalang kinantang (Perganji),
4. Gagah kalang kinantang (Kewusnendar, Tamtanus, Kelangjajali, Nursewan dan Gajah Biher),
5. Gagah kambeng (Lamdahur),
6. Gagah bapang (tokoh Umarmaya),
7. Gagah bapang (Umarmadi dan Bestak),
8. Raseksa (Jamum),
9. Puteri (Adaninggar seorang Puteri Cina),
10. Puteri impur (Sudarawerti dan Sirtupelaeli),
11. Puteri kinantang (Ambarsirat, Tasik Wulan Manik lungit, dan kelas wara),
12. Raseksi (mardawa dan Mardawi).

Bahasa yang digunakan dalam dialog adalah bahasa bagongan. Busana yang dikenakan para penari mengacu pada busana Wayang Golek Menak Kayu, semua tokoh berbaju lengan panjang, sedangkan cara berkain menerapkan cara rampekan, kampuhan, cincingan, serta seredan disesuaikan dengan tokoh yang dibawakan.

Giliran kedua jatuh pada Pusat Latihan tari Bagong Kussudiardja diselenggarakan di Padepokan Seni Bagong Kusssudiardja sendiri. Bentuk-bentuk tari yang ditampilkan merupakan garapan baru yang bersumber dari Golek Menak, dengan mempergunakan ragam tari yang pernah dipelajari dari kakaknya, yaitu Kuswaji Kawindrasusanta (seorang peraga Golek Menak pada saat proses penciptaan tari oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX).

Beberapa tipe karakter yang ditampilkan antara alain : puteri luruh, puteri Cina, gagah bapang untuk tokoh Umarmaya, gagah kinantang untuk tokoh Umarmadi. Disamping itu ditampilkan pula sebuah garapan kelompok dari tipe gagah kinantang yang diberi nama tari Perabot Desa, dengan gendhing-gendhing yang digarap sesuai keperluan gerak tari sebagai pengiringnya.

Giliran ketiga jatuh pada Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Yogyakarta, dipimpin oleh Sunartama dan diselenggarakan pada tanggal 30 Juli 1988 S.M.K.I. menitik beratkan pada penggarapan ragam gerak yang merupakan dasar pokok dari tipe-tipe karakter dari Golek Menak dan memperhatikan gendhing-gendhing yang mengiringi tari agar penampilan tipe-tipe karakter bisa lebih kuat. Penyajian dari S.M.K.I. menampilkan tipe karakter dengan 14 ragam gerak berbentuk demonstrasi, tanpa menggunakan lakon, tata busana, tata rias, antawecana, swerta kandha tidak digarap.

Giliran keempat jatuh pada Mardawa Budaya yang menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 9 Agustus 1988 dipimpin oleh Raden Wedana Sasmita Mardawa. Mardawa Budaya menampilkan sebuah fragmen singkat tetapi padat dengan lakon Kelaswara Palakrama. Dalam penampilannya Mardawa Budaya menampilkan 14 tipe karakter.

Giliran kelima adalah Surya Kencana pimpinan raden Mas Ywanjana, yang menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 15 Agustus 1988. Surya Kencana memilih bentuk demonstrasi dan menampilakan 16 tipe karakter, serta berupaya memasukkan gerak pencak kembang dan silat gaya Sumatera Barat yang disesuaikan dengan rasa gerak Jawa.

Giliran keenam atau terakhir jatuh pada Institut Seni Indonesia Yogyakarta, yang menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 22 Agustus 1988. Lokakarya bertempat di Fakultas Kesenian Kampus Utara, dipimpin oleh Bambang Prahendra Pujaswara, dengan menampilkan 15 tipe karakter dalam demonstrasinya. Demonstrasi tipe-tipe karakter kemudian disusul dengan penampilan sebuah fragmen pendek dengan lakok Geger Mukadam dipetik dari Serat Rengganis.

Para penggarap tari dari ISI Yogyakarta menitik beratkan pada garapan geraknya, iringan tari, tata busana, tata rias serta antawecana. Gerak pencak kembang dari Sumatera barat juga telah dimasukkan, bukan hanya pada adegan perang saja, tapi juga pada ragam-ragam geraknya. Bahasa yang dipergunakan untuk antawecana atau dialog adalah bahasa Jawa pewayangan.

Pada pertemuan pada tanggal 16 September 1988 dia Anjungan Daerah Istimewa Yogyakarta, sultan menyatakan kegembiraannya, bahwa enam lembaga tari di DIY telah menanggapi dengan baik permintaan sultan. Karena hasil lokakarya itu baru merupkan hasil awal dari proses penyempurnaan tari Golek Menak, sultan mengharapkan agar segmen disusul dengan rencana kerja kedua, yaitu pada bulan Maret 1989.

Tetapi sebelum sultan sempat menyaksikan kerja kedua dari Tim Penyempurnaan Tari Golek Menak yang akan jatuh pada bulan Maret 1989, sultan mangkat di Amerika Serikat pada tanggal 3 Oktober 1988. Beberapa minggu kemudian seluruh anggota Tim sepakat untuk meneruskan penyempurnaan tari Golek Menak, meskipun sultan telah tiada. Maka dalam pagelaran hasil penyempurnaan tari Golek Menak tanggal 17 Maret 1989 itu ditampilkan demonstrasi Wayang Golek Menak serta fragmen dramatari Golek Menak dengan cerita yang sama, yaitu kelaswara palakrama atau perkawinan antara kelaswara dengan Wong Agung Jayengrana.

Tim penyempurnaan tari Golek Menak bekerja sesuai dengan petunjuk-petujuk sultan. Tetapi karena perancangan tata busana seperti yang diinginkan sultan menuntut biaya yang besar, maka tata busana untuk pagelaran itu masih menggunakan busana yang telah ada dengan tambahan serta modifikasi seperlunya.

Ditulis oleh: Ani Nurdwiyanti 
kontributor swaberita dan dapat dihubungi di ani.nurdwiyanti@swaberita.com
taken from: swaberita.com

Pagelaran Tari Garapan Pelajar SMKI Jogjakarta

Mendut dan Urubhisma Lena

Pagelaran tari garapan dalam artikel ini adalah sebuah pementasan tari yang diproduksi siswa dan siswi kelas tiga program keahlian tari SMK N 1 Kasihan Bantul (SMKI Jogjakarta). Pementasan semacam ini, yang tahun ini kebetulan dilaksanakan selama dua malam berturut-turut yaitu pada tanggal 25-26 Maret 2009, digelar secara rutin oleh pihak sekolah. Seperti diutarakan Ibu Sri Wahyuningsih S.Pd selaku Kepala Program Keahlian Tari SMK N 1 Kasihan Bantul dalam sambutannya, “Uji kompetensi pada mata pelajaran pementasan merupakan tolak ukur sejauh mana kemampuan siswa menguasai kompetensinya sebagai seorang penari, penata tari dan pengelola pertunjukan”. Selain itu ujian pementasan juga menjadi salah satu syarat kelulusan bagi siswa-siswi di sekolah tersebut.


Menginjak pada segmen pementasan, hal pertama yang patut kita acungi jempol adalah bagaimana bisa suatu acara semegah ini dikelola dan dilakoni siswa-siswi secara mandiri. Mulai dari penggarapan materi pementasan hingga mencari sponsor mereka lakukan sendiri, guru disini hanya berperan sebagai pengawas dan penasehat saja. Hal kedua yang perlu kita soroti adalah betapa pedulinya mereka terhadap seni dan budaya tradisional yang sekarang sudah mulai ditinggalkan oleh kaum muda seusia mereka. Ditengah godaan kemajuan teknologi dan perkembangan dunia hiburan saat ini mereka rela berjalan walau tertatih mengembangkan budaya asli mereka, dalam hal ini tari khususnya. Hal-hal semacam inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah khususnya pejabat di bidang-bidang terkait

Pementasan tahun ini menampilkan dua cerita, pementasan hari pertama berjudul Mendut. Diangkat dari cerita trdisional bejudul Rara Mendut. Pementasan ini digawangi oleh pelajar dari kelas 3 Tari A dan diiringi dengan musik atau gendhing racikan pelajar dari kelas 3 Tari B. Pementasan hari kedua juga tidak kalah hebatnya, seolah-olah tak mau kalah dengan rekan sejawatnya dari kelas 3 Tari A, para pelajar kelas 3 Tari B menampilkan lakon berjudul Urubhisma Lena. Musik atau gendhing yang terdengar indah selama pementasan diracik oleh para pelajar dari kelas 3 Tari A. Sebuah kerjasama yang apik mengingat mereka masih berusia muda dimana pada umumnya identik dengan persaingan, yang terkadang kurang sehat.

Terakhir, semoga pementasan ini tidak menjadi muara bagi mereka dalam dunia seni, tetapi justru dianggap sebagai hulu bagi mereka. Setelah para pelajar berbakat ini melepas seragam pelajar mereka, dunia yang “sesungguhnya” sudah menanti. Selamat dan sukses buat semua yang terlibat dalam pementasan kali ini.

Sinopsis

Mendut

Sebuah kisah cinta yang menggetarkan. Setelah kematian Pragola, Menrut diperkosa dan dibawa ke Katemanggungan oleh Wiroguno. Berulang kali Wiroguno berusaha membuat Mendut mencintainya, segala upaya telah dilakukan namun hasilnya nihil. Hati dan pikiran Mendut sudah terbakar api dendam, dan kebencian juga sudah tertanam dalam di jiwanya.
Tetapi entah mengapa tiba-tiba Mendut yang sudah jatuh hati pada pria lain bernama Panacitra, dengan manjanya merengek-rengek pada Wiruguno agar ia dibuatkan sebuah pasar. Ternyata, hal itu hanya alasan mendut agar dapat selalu bejumpa dengan Pranacitra. Hingga pada suatu saat mereka bena-benar jatuh cinta dan berkomitmen untuk selalu bersama dalam kondisi apapun. Mengetahui hal ini, amarah Wiroguno memuncak. Wiroguno akhirnya membunuh Pranacitra, hal ini diketahui Mendut. Akhirnya, demi menjaga komitmen yang sudah mereka buat dan membuktikan cintanya pada Pranacitra, Mendut pun mengakhiri hidupnya dengan cara menghunuskan keris yang dapakai Wiroguno untuk membunuh Pranacitra ke perutnya sendiri. 

Urubhisma Lena

Suatu ketika, Sang Ratu Ayu Kencana Wungu memerintahkan Damarwulan untuk menyelamatkan Majapahit. Tanpa berpikir panjang, setelah berpamitan dengan Anjasmara istrinya, Damarwulan berangkat mempertaruhkan nyawanya menuju Blambangan. Sebuah daerah yang memberontak dari kekuasaan Majapahit.
Sesampainya di Blambangan, Damarwulan bertarung dengan Urubhisma Adipati Blambangan. Ia memang buruk rupa, tapi kemampuan bertarungnya sungguh luar biasa. Damarwulan hampir saja kehilangan nyawa menghadapinya. Untungnya, ia diselamatkan Wahita dan Puyengan. Kedua orang ini jugalah yang berhasil mencuri dan menyerahkan Gada Wesi Kuning, yang merupakan senjata andalan Urubhisma, kepada Damarwulan. Mengetahui hal ini Urubhisma sangat terkejut.
Akhirnya, Damarwulan berhasil memenggal kepala Urubhisma dan menguasai kembali daerah Blambangan.

ditulis oleh: sedik

nb: foto-foto menyusul, just wait and see...

Seni Banyumasan

Memudar di Tengah Kepungan Budaya Kota

Adoh ratu cedhak watu, jauh dari raja dekat dengan batu. Kalimat tersebut cocok untuk menggambarkan eksistensi Banyumas atau wong Banyumas. Secara politik, tak pernah ada raja yang berkeraton di wilayah yang dikelilingi pegunungan ini, yang ada hanya adipati.

Banyumas —sekarang kabupaten di Jawa Tengah— menjadi sebuah daerah perdikan dan negeri ”mancanegara”, baik pada masa Majapahit dan Mataram (Jawa) maupun Padjadjaran (Sunda). Kondisi tersebut membuat wong Banyumas berkesempatan mengembangkan budaya sendiri yang khas dan unik.

Satu unsur budaya yang lekat di masyarakat Banyumas dan masih bertahan hingga kini adalah dialek bahasa ngapak-nya. Konon, dialek ngapak ini adalah bahasa Jawa murni atau bahasa Jawadwipa.

Banyumas juga kaya akan kesenian khas, seperti ebeg, cowongan, lengger, genjringan, ujungan, udhun-udhunan, begalan, memedi sawah, dan kentongan. Seni-seni tersebut agak berbeda dengan seni budaya yang berkembang di Jawa maupun Sunda.

Namun, derasnya pengaruh modernisme kini mulai mengikis eksistensi budaya-budaya lokal tersebut. Pentas lengger, ebeg, dan kenthongan kini mulai jarang terlihat. Kelompok-kelompok seni tradisional pun mulai terpinggirkan.

Sebaliknya, sajian budaya modern, seperti konser musik pop, rock, dangdut, pentas disc jockey, hingga sajian sexy dancer dapat dinikmati hampir setiap minggu di kota ini. Kondisi tersebut seiring maraknya tempat hiburan modern, mulai kafe, diskotek, pub, hingga rumah karaoke.

Hingga tahun 1970-an dan sampai 1980-an, hampir setiap desa di Banyumas memiliki kelompok seni, khususnya kenthongan dan lengger. Mereka secara berkala tampil dalam berbagai kesempatan, seperti perayaan pernikahan, hari besar, hingga merti desa.

Seni, seperti ebeg, kenthongan, cowongan, dan lengger, bagi wong Banyumas kala itu bukan sekadar pentas hiburan, melainkan sebuah tradisi yang menyatukan mereka dengan jati diri mereka sebagai orang Banyumas. Maka tak heran, di masa jayanya, mementaskan kesenian tradisional seakan menjadi kebutuhan warga Banyumas di sela menggelar hajatan, seperti pernikahan, sunatan, atau panen.

Saeran Samsidi, budayawan Banyumas, mengungkapkan, dahulu setiap desa di Banyumas mempunyai kekhasan sendiri terkait tumbuh kembangnya seni tradisional. Ada daerah yang dikenal memiliki budaya kelompok seni ebeg dan lengger. Ada daerah yang dikenal memiliki kelompok seni cowongan yang bagus.

Tak lagi dijumpai

Namun, kini kondisi tersebut tak lagi dijumpai. Kalaupun ada kelompok seni yang masih bertahan, kondisinya kembang kempis. Mereka sekadar bertahan agar seni yang mereka warisi dari leluhur tak punah sama sekali. Kadang hanya sekali dalam setahun mereka pentas.

”Kondisi ini terjadi sejak budaya televisi masuk. Pengaruh global yang hadir dari televisi membuat masyarakat lebih memilih budaya modern. Filsafat budaya lokal pun hilang terlupakan,” ujar Saeran.

Seni budaya lokal pun seolah berjalan dengan lokomotif tua, sementara budaya modern hadir dengan lokomotif superekspres yang ingar-bingar dan menjanjikan ”kekotaan”.

Perumpamaan itu tak berlebihan, para pelaku budaya tradisional di Banyumas kini kebanyakan generasi tua. Sebagai contoh, penggiat seni cowongan di Desa Somagede. Dari sekitar delapan orang yang dikenal sebagai dedengkot cowongan di desa itu, semuanya adalah nenek dengan usia di atas 55 tahun.

Penggiat seni cowongan Banyumas, Titut Edi Purwanto, menuturkan, sebelum pengaruh budaya televisi masuk di Banyumas, hampir setiap desa di wilayah ini memiliki kelompok seni cowongan . Umumnya, mereka adalah perempuan. Cowongan adalah seni tradisional untuk memanggil hujan pada saat musim kemarau. Pementasan biasanya dilakukan saat musim tanam tiba. Seni ini dahulu dapat tumbuh subur di Banyumas karena sesuai dengan karakteristik masyarakat daerah tersebut yang agraris.

Kenyataannya, kini seni cowongan hanya dapat ditemui di Desa Somagede. Itu pun setahun sekali dan pementasannya dilakukan oleh para nini cowong yang sudah nenek-nenek.

”Regenerasi memang menjadi persoalan. Anak muda banyak yang kurang tertarik. Sebenarnya, seni cowongan ini menarik karena unik, hanya saja memerlukan polesan agar menarik generasi muda masa kini. Ini yang menjadi pekerjaan rumah kita semua,” papar Titut.

Upaya modifikasi cowongan tersebut yang kini terus diupayakan Titut melalui kelompok cowongan Syeh Gugat. Beberapa bagian pentas cowongan yang abstrak dibumbui dengan sajian- sajian baru, seperti penampilan genderuwo, tarian, dan musik. Langkah Titut tersebut membuat seni cowongan mulai dilirik lagi. Terbukti saat pertunjukan seni ini di Gedung Kesenian Banyumas baru-baru ini dihadiri 600 orang. Sesuatu yang jarang terjadi dalam pentas seni tradisional di Banyumas, yang sering kali hanya ditonton belasan sampai puluhan orang.

Upaya mempertahankan budaya lokal sebenarnya juga mulai dilakukan sejumlah penggiat seni tradisional lainnya di Banyumas. Hal ini seperti dilakukan Cu`eng Tato dengan teater tradisionalnya dan Johny dengan begalan-nya. Namun, dana menjadi kendala klasik yang selalu mereka alami.

Perhatian pemerintah

Perhatian Pemerintah Kabupaten Banyumas terhadap pengembangan seni lokal ini dinilai masih belum kelihatan.

Bahkan, pada tahun 2008, anggaran rutin Rp 150 juta untuk pengembangan kegiatan seni tak dikucurkan karena pemkab lebih berkonsentrasi membangun proyek fisik semacam Alun-alun Banyumas.

Dinas Pendidikan Banyumas pun belum memasukkan kesenian tradisional sebagai sebuah menu ekstrakurikuler apalagi salah satu bidang ajar. Tak pelak, upaya memperkenalkan seni budaya lokal ke generasi muda pun makin sulit.

Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Dahlar Sodiq, mengatakan, keterpurukan seni tradisional Banyumas merupakan salah satu contoh gempuran globalisasi yang sulit dihindari budaya lokal. Kondisi ini mulai terjadi sejak pembangunan besar-besaran pada masa Orde Baru yang lebih mengutamakan pembangunan fisik daripada budaya.

Selain itu, hadirnya pendatang ke Purwokerto juga berpengaruh terhadap eksistensi budaya lokal. Mereka membawa budaya luar yang kemudian memengaruhi budaya lokal. Maraknya budaya nongkrong di kafe di masyarakat Purwokerto dalam beberapa tahun terakhir adalah salah satu contohnya.

”Sebenarnya ada upaya resistensi dari kelompok-kelompok yang ingin mempertahankan budaya lokal dari kepungan budaya kota semacam ini. Seharusnya mereka harus terus didukung. Pemerintah juga harus berperan lebih aktif,” kata dia.

ditulis oleh: M. Burhanudin

taken from: Melayuonline.com

Wednesday 25 March 2009

Spider-Man Selamatkan Anak Penderita Autis


Spider-Man in action

KOMPAS.com — Seorang petugas pemadam kebakaran di Bangkok, Thailand, menjadi pahlawan saat dia berhasil membujuk seorang anak penderita autis dari balkon sekolah di lantai tiga. Polisi hari Selasa (24/3) menuturkan, petugas pemadam kebakaran ini harus berpenampilan seperti Spider-Man alias manusia laba-laba agar bisa membujuk anak berusia delapan tahun yang tetap bertahan di balkon tadi.

Kejadian berlangsung hari Senin, hari pertama di sekolah luar biasa itu. Si kecil ini diduga takut di hari pertamanya sekolah dan memilih berada di balkon sekolah. Para guru tak berhasil membujuknya untuk kembali ke kelas. Anak ini bahkan duduk di pagar balkon.

Pihak sekolah lantas mengontak polisi karena takut terjadi sesuatu yang membahayakan bagi si anak. Jalan keluar muncul saat ibunya datang dan mengatakan bahwa anaknya pencinta berat tokoh komik penuh kepahlawanan, Spider-Man. Spontan, Somchai Yoosahai, petugas pemadam kebakaran langsung mengenakan pakaian Spider-Man yang acap kali dipakai timnya dalam pelajaran soal kebakaran kepada anak sekolah. ”Saya bilang padanya, Spider-Man datang menolong kamu, tak ada monster yang menyerang kamu. Jalan pelan-pelan saja karena lari bisa berbahaya,” ujar Somchai soal upayanya.

taken from:
Kompas.com

Kunyit Untuk Tinta Pemilu

Ketua KPU: Bisa Saja Kunyit untuk 'Tinta' Pemilu

Palawija memang sangat bermanfaat. Salah satunya kunyit. Selain untuk obat tradisional dan bumbu masak, kunyit ternyata bisa digunakan untuk pengganti tinta pemilu.

"Bisa saja pemilu depan, kita sudah menggunakan kunyit sebagai penanda untuk pemilu," kata ketua KPU, Abdul Hafiz Anshari, saat berdialog dengan pemuda dan tokoh agama di Hotel Banjarmasin Internasional, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa (10/3/2009).

Menurut Hafiz, Kalsel sebagai penghasil palawija terbesar siap memasok keperluan itu. "Saya dengar produsen kunyit di Kalsel sudah bisa memproduksi kunyit untuk keperluan itu," ujar pria kelahiran Banjarmasin ini.

Kunyit bahkan sudah teruji kesiapannya menjadi pengganti tinta penanda pemilu.

"Kemarin juga sudah diuji coba, kunyit setelah dicampur dengan bahan khusus, warna kuningnya tidak mudah hilang sehingga dapat digunakan untuk penanda jari pada pemilu 2009," papar Hafiz.

Hafiz menambahkan hasil penelitian khabarnya membuktikan penanda kunyit tidak dapat hilang dalam waktu seminggu.(Detik.com)

Makanan Tradisional Soto Padang

Soto Padang
Bahan:

* 1 lb daging sapi (beef round)
* 2 baking potato goreng, potong kecil2
* 1 bungkus soun, rendam air panas sebentar
* daun seledri, iris halus
* bawang goreng
* kecap asin dan cuka secukupnya
* 2 lembar daun salam
* garam dan lada secukupnya

Bumbu yang dihaluskan:

* 1/2 medium onion
* 5 siung bawang putih
* 2 butir pala
* sambal oelek sepedasnya

Cara membuat:

1. Potong daging setebal 1 inch.
2. Rebus daging dalam air secukupnya beserta daun salam dan garam sampai setengah matang.
3. Sementara panaskan 2 sendok makan minyak, tumis bumbu yang sudah dihaluskan sampai baunya harum. Masukkan tumisan ini kedalam panci daging dan masak terus sampai daging matang. Kalau airnya berkurang bisa ditambahkan air secukupnya.
4. Angkat daging kemudian goreng sampai kering (dengan api kecil).

Menghidangkannya:

1. Atur soun, kentang, daging goreng yang sudah dipotong tipis, seledri dan bawang goreng di dalam mangkuk.
2. Beri kecap asin dan cuka kemudian siram dengan kuah soto yang
hangat.
3. Dimakan dgn nasi hangat yg ditaburi kerupuk merah dan
bawang goreng.

Bumbu halus

* 5 buah bawang merah.
* 3 siung bawang putih.
* 4 buah cabai merah, buang bijinya.
* ½ sdm bubuk kunyit.
* 4 butir kapulaga.
* 1 sdt jinten, sangrai.
* 1 sdt lada butir.

Pelengkap

* Emping goreng.
* Acar mentimun.

Cara membuat

1. Tumis bawang merah iris, bawang putih iris dan bumbu halus hingga harum. Masukkan daging, aduk dan masak hingga daging berubah warna. Lalu tambahkan udang dan tomat, aduk rata.
2. Masukkan kaldu, seledri, daun bawang, garam dan cuka. Masak hingga daging matang dan air berkurang sambil sesekali diaduk.
3. Masukkan kol dan tauge, aduk rata. Kemudian tambahkan mi dan kecap manis. Aduk hingga semua bahan tercampur rata dan matang. Angkat.
4. Sajikan panas-panas dengan acar mentimun dan emping goreng.

Selamat mencoba,..

taken from:
yahoo answers

Jogja Tempoe Doeloe in Frame part 1

Lampau

Masa lalu selalu indah
Takkan terulang
Takkan terlupakan


Tari Beksan Bobondoyo


Alun-alun Utara tahun 1895


Alun-alun Kidul tahun 1920


Alun-alun Kidul


Menjamu Tamu,pada masa Sri Sultan HB VIII



taken from many sources

Permainan Tradisional Congklak (Dakon)


Congklak (Dakon)

Permainan congklak merupakan permainan yang dimainkan oleh dua orang yang biasanya perempuan. Alat yang digunakan terbuat dari kayu atau plastik berbentuk mirip perahu dengan panjang sekitar 75 cm dan lebar 15 cm. Pada kedua ujungnya terdapat lubang yang disebut induk. Diantar keduanya terdapat lubang yang lebih kecil dari induknya berdiameter kira-kira 5 cm. Setiap deret berjumlah 7 buah lubang. Pada setiap lubang kecil tersebut diisi dengan kerang atau biji-bijian sebanyak 7 buah.

Cara bermainnya adalah dengan mengambil biji-bijian yang ada di lubang bagian sisi milik kita kemudian mengisi biji-bijian tersebut satu persatu ke lubang yang dilalui termasuk lubang induk milik kita (lubang induk sebelah kiri) kecuali lubang induk milik lawan, jika biji terakhir jatuh di lubang yang terdapat biji-bijian lain maka bijian tersebut diambil lagi untuk diteruskan mengisi lubang-lubang selanjutnya. Begitu seterusnya sampai biji terakhir jatuh kelubang yang kosong. Jika biji terakhir tadi jatuh pada lubang yang kosong maka giliran pemain lawan yang melakukan permainan. Permainan ini berakhir jika biji-bijian yang terdapat di lubang yang kecil telah habis dikumpulkan. Pemenangnya adalah anak yang paling banyak mengumpulkan biji-bijian ke lubang induk miliknya. Permainan ini merupakan sarana untuk mengatur strategi dan kecermatan.

Tuesday 24 March 2009

Fun Fun Fun

WHAT DO THEY WANT ON THEIR BIRTHDAY
based on their zodiac


CAPRICORN
(Dec. 22 - Jan. 19)
Proud
Capricorns are sensible and organized. They have great time management. What else can you give them on their birthday if not an organizer? Alas! They are also conceited (proud of themselves). So, second option: Give them a mirror on their birthday and let them stand in front of it, admiring themselves.

AQUARIUS
(Jan. 20 - Feb. 18)
Fantasizing
Their motto: “I like pie-in-the-sky-dreaming, fantasizing.” Nothing better than very imaginative games or books to present them on their birthday.

PISCES
(Feb. 19 - March 20)
Pessimistic
Becoming extremely pessimistic? Poor fish. Come on! Get out of bedroom and stop being a loner. Surely ticket to a dance party would be the best gift on he/she birthday. Cheer up and enjoy dancing and socializing!

ARIES
(March 21 - April 19)
Adventurous
Don’t give an Aries girl a bunch of flower or any other romantic stuff on her birthday. Give her camping gear or let her g bungee jumping instead. They like things that are challenging and daring.

TAURUS
(April 20 - May 20)
Materialistic
Money, money, money is all Taureans have in mind. “Money is everything,” they often say. So, a pink piggy bank would be the most appropriate gift for them on their birthday. Second option: A calculator for them to count their money.


GEMINI
(May 21 - June 20)
Noisy
Talking, talking, talking is what Gemini people like doing. They never spend a moment sitting quiet. They’d be grateful if you gave them a cassette recorder to record their incessant talking on their birthday.

CANCER
(June 21- July 22)
Melancholic
Moody blues! That’s Cancer. Give him/her a “crying baby-doll” and a CD of melancholic songs. That’s the right stuff for them to give on their birthday.

LEO
(July 23 - Aug. 22)
Animal Lover
They can’t live without animals. They’re true animal lovers. It’s clear that any kind of pet is the most appropriate birthday gift for them. Second option: A ticket to the biggest zoo in the country.

VIRGO
(Aug. 23 - Sept. 22)
Neat
The thing that is definitely Virgo: being clean and neat. Never leave their bedroom messy. A distinctive broom, a comb, or even a nail clipper would be the right stuff to give them on their birthday.

LIBRA
(Sept. 23 - Oct. 22)
Artistic
“I have taste,” is what Libras will say if you ask them what’s so special about them. It’s true. Libras are artistic. On their birthday, they’d be grateful and so amazed by a surprise gift of artistic stuff like wayang, painting or any other ethnic artifacts.

SCORPIO
(Oct. 23 - Nov. 21)
Philosophical
Their motto is “Leave me alone! I’m contemplating the world.” Oh boy! Such profound thinkers would be grateful if you give them a book of philosophy on their birthday. Second option: Ask them to debate on a philosophical issue after blowing out the birthday.

SAGITARIUS
(Nov. 22 - Dec. 21)
Amusing
They have a good sense of humor; peals of laughter always come from them. So, a toy snake to make fun of their closest buds is the best birthday gift for them. Second option: A pocket book containing light jokes to inspire them to create other amusing stories.


Photo of the Week


(click it to see the larger picture)

Aku Masih Bersahabat
photographed by sedik

Aku kan tetap setia
Berdiri menjulang di utara Jogja
Sesekali terbatuk
Sesekali meratap
Dan aku akan selalu menjadi sahabatmu

Poem of the Week

Winter
by Walter de la Mare

Clouded with snow
The cold winds blow,
And shrill on leafless bough
The robin with its burning breast
Alone sings now.

The rayless sun,
Day's journey done,
Sheds its last ebbing light
On fields in leagues of beauty spread
Unearthly white.

Thick draws the dark,
And spark by spark,
The frost-fires kindle, and soon
Over that sea of frozen foam

Lyric of the Week


My Baby You

As I look into your eyes
I see all the reasons why
My life’s worth a thousand skies
You’re the simplest love I’ve known
And the purest one I’ll own
Know you’ll never be alone

My baby you
Are the reason I could fly
And cause of you
I don’t have to wonder why
Baby you
There’s no more just getting by
You’re the reason I feel so alive
Though these words I sing are true
They still fail to capture you
As mere words can only do
How do I explain that smile
And how it turns my world around
Keeping my feet on the ground

I will soothe you if you fall
I’l be right there if you call
You’re my greatest love of all

Arianna I feel so alive

performed by Marc Anthony

click the link below to get the song

Marc Anthony - My Baby You

My “Lovely” Wednesday (task 6)

On Wednesday, I usually wake up in the morning at 5 a.m. After that, I do morning prayer. Then, I take a bath and have breakfast together with my family. At 6.20 a.m, I go to campus by motorcycle. Of course, I always prepare everything that I need in campus before I ride my motorcycle. Arrive in campus, I go to the class and read the material given by the lecturer last week, or I read a material which I will face in the class later. At 7 a.m, I join the Seminar on Language Teaching class with Mr. Prayit. The class finishes at 8.45 a.m and I directly jump into the Translation II class with Mrs. Marnie. After that, at 11 a.m, I go to II K.32 to have a Structure II class with Mr. Gunawan and the class ends at 2.30 p.m. It is a nice day, right?
I feel so hungry because we have no leisure time to eat. After the end of the class I go home. There is nothing more interesting than have lunch and take a nap, before that I always do my Dzuhur prayer. Usually, I wake up from my take a nap at 4 p.m, and then I do my Ashar prayer. After that, I always help my mom cleaning the yard. Finish cleaning the yard, I take a bath and enjoy the sunset in my back yard accompanied by a cup of coffee and a bunch of French Fries. Then, at 6 p.m, I go to mosque to do Maghrib prayer and directly continue to the Isya’ prayer. It usually finishes at 8 p.m. Next, I go home and do my homework, if I have homework. If I do not have any homework, I just read any books about the lesson. I usually go to bed at 11 p.m. Before I go to bed, I never forget to pray to God.

Sunday 22 March 2009

Nasibmu Oh...Ketoprak..

Never Ending Ketoprak [alias Seret Generasi]

Kesenian Indonesia acap membuat logika bahasa bersalto ria entah ke mana… Contohnya ini, meskipun digandrungi oleh masyarakat Yogyakarta baik desa dan kota, ketoprak masih dianggap perlu untuk dilestarikan, dijaga keberadaanya, dikembangkan, dan lain bahasa yang mengumpamakan bahwa sejatinya ketoprak tidak sepenuhnya digandrungi. Karena jika digandrungi oleh masyarakat, maka tiadalah perlu dikhawatirkan, dilindungi dalam rangka suaka, atau disertifikasi agar nyata berada.

Namun inilah kenyataan yang dihadapi keseniang yang di ‘gandrungi’ ini. Bondan Nusantara, tokoh ketoprak termasuk yang khawatir bahwa ketoprak akan punah. Karena kesenian yang digandrungi ini sudah kehilangan panggung permanen [tobong] seperti halnya era 60-an 80-an. Pada era tersebut kita bisa menyebut beberapa grup ketoprak yang nobong, antara lain, Ringin Dahana, Kridha Mardi, Sapta Mandala, PS Bayu Gito-Gati dan Sinar Mataram, serta Padmanaba. Akhir 1980-an, Ketoprak Surya Budaya pimpinan aktor Widayat main di Panggung bekas THR [sekarang Purawisata], namun tidak setiap hari.

Hilangnya tobong ketoprak menjadikan para pelaku ketoprak kehilangan media untuk berekspresi, sedangkan para pelaku muda ketoprak kehilangan peluang untuk belajar dan praktik langsung. Harus diakui, tobong ketoprak merupakan “universitas” sekaligus pasar. Di sini, orang digodok kemampuannya sekaligus “menjual” jasa kreatifnya

Belum lagi tradisi dunia ketoprak itu sendiri yang menggunakan sistem bintang atau pemain yang sudah jadi. Orientasi pada hasil dan bukan pada proses ini juga disebabkan tradisi komersial tanggapan [undangan main]. Memasang pemain-pemain muda dianggap pilihan yang riskan. Jika hasilnya kurang memuaskan, si penanggap akan kecewa. Kini, ketika belum ada media panggung yang secara permanen menyajikan ketoprak, tradisi festival diharapkan bisa melakukan regenerasi.

Berangkat dari hal diatas itulah Festival Kethoprak Antar Kabupaten dan Kota 2008 se-DIY diselenggarakan sebagai upaya untuk melestarikan kesenian kethoprak. Festival Kethoprak Antar Kabupaten dan Kota 2008 ini, berbeda dengan pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun sebelumnya, peserta dipilih oleh pihak Pemkab/Pemkot yang ada, namun tahun ini peserta lomba melalui tahapan festival antar kecamatan dahulu. Setelah mampu dilolos ditingkat Kabupaten/Kota, peserta yang juara maju untuk mewakili di tingkat propinsi.

Selain itu Pihak Taman Budaya Yogyakarta, selaku panitia pelaksana, akan menghadirkan beberapa nara sumber termasuk Bondan Nusantara, M. Sugiharto, Mardjijo, Drs. Untung Mulyono, dan Y. Subowo. Adapun dewan juri yang akan menilai nanti Ign. Wahono [Seniman Kethoprak], Indra Tranggono [Budayawan], Drs. Trustho, M.Hum [Seniman Karawitan], Nanang Arizona, S.Sn [Dosen ISI], Hanindawan [Teaterwan Solo].

Pelaksaan festival itu sendiri, bertempat di Gedung Societed Taman Budaya Yogyakarta, direncanakan akan dimulai 18 November 2008, dan berakhir pada 20 November 2008, dari pukul 20.00 WIB sampai dengan selesai. Dengan demikian, diharapkan apabila kesenian ini akan selalu ada dan tetap digandrungi. Never Ending, begitu kiranya dalam bahasa Inggris sana.

Oleh Ferren Bianca
Taken from:
http://beritaseni.com

Ketoprak Jogja

Ketoprak, Portal Budaya Jogja

Ketoprak sebagai salah satu seni tradisional khas Yogyakarta, ternyata tidak mendapat perhatian memadai dari pemerintah setempat. Festival ketoprak antarkabupaten/kota maupun antarmahasiswa yang pernah secara rutin dilakukan beberapa tahun lalu, kini tiada lagi.

Boro-boro ada dana stimulan untuk grup yang masih eksis, yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah daerah (pemda) semakin gigih menarik pajak tontonan yang memberatkan seniman. Yang lebih paradoksal, ketika hasil penjualan tiket pertunjukan ketoprak dalam Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) relatif besar, panitia meminta dua pertiganya untuk menopang biaya pertunjukan kesenian lain yang berlabel "modern".

Terdapat setidaknya tiga penjelasan mengapa pemerintah setempat bersikap demikian. Pertama, eforia dan kadangkala pemahaman otonomi daerah membuat pemda amat terpaku pada upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang secara picik diterjemahkan dengan menarik pajak seserakah mungkin. Belum lama beredar berita bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta merencanakan menarik pajak atas reklame dalam ruang, antara lain yang berbentuk spanduk seminar komersial. Petugas Dinas Pendapatan Daerah Sleman juga tidak kalah semangatnya sehingga rela menerjang hujan pada malam sebuah pertunjukan yang ternyata sepi penonton.

Bukankah semestinya otonomi daerah dipahami lebih sebagai kepercayaan dan kebebasan untuk mengurus, memajukan, memakmurkan, dan menyejahterakan rakyat seutuhnya? Jika demikian, konsep pembangunan Orba yang menempatkan "ekonomi sebagai panglima" perlu direvisi. Selain karena terbukti gagal, semangat reformasi adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat termasuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan setempat. Artinya, mengembalikan hak rakyat untuk berekspresi menyalurkan aspirasi sesuai cara masing-masing dan bukan membungkam atau menyeragamkan demi tujuan (ekonomi) yang digagas hanya oleh pemerintah.

Kedua, sikap gamang menjalankan otonomi ditambah minimnya anggaran membuat pemda "tidak sempat" memikirkan kesenian (apalagi tradisional) dan kebudayaan pada umumnya. Rebutan jabatan, ruwetnya mengatur pegawai yang melimpah, dan minimnya anggaran telah menguras energi mereka.

Ketiga, stigma bahwa ketoprak adalah seninya wong cilik rupanya masih berkecamuk dalam benak banyak pejabat. Buktinya, belum pernah jamuan resmi atau penyambutan tamu yang menampilkan dan menyebut ketoprak sebagai seni khas Yogyakarta. Peristiwa pementasan ketoprak di lingkungan keraton juga masih dapat dihitung dengan jari satu tangan. Bandingkan dengan pementasan wayang dan tari yang notabene sulit diklaim sebagai seni khas Jogja.

Padahal, ketoprak memiliki potensi besar untuk menjadi semacam portal (dalam dunia Internet) bagi kebudayaan Jogja. Sekali melihat pertunjukannya, orang dapat segera paham khazanah budaya Jogja dan Jawa pada umumnya, bukan hanya pada wujud wadhag (fisik) melainkan juga nuansa, spirit, dan bahkan rohnya.

Secara wadhag ketoprak dapat mempertunjukan beberapa hal, yaitu: tata busana Jawa, bangunan dan penataan ruang, perabotan rumah dan aksesori interior, sistem transportasi, dan perlengkapan persenjataan.

Sementara itu kandungan kebudayaan dalam wujud tidak sekadar fisik (nir kasat mata) antara lain tradisi berbahasa, bentuk-bentuk komunikasi nonverbal, pesan sastra dari lakon yang dipertunjukkan, ketoprak sebagai "opera Jawa", dan obyek kajian lain ialah seni tembang dan kerawitan, sebagai pengiring pertunjukan. Yang terakhir, adegan peperangan (massal) bisa menunjukkan ragam strategi perang tradisional (garuda ngleyang, supit urang, glathik neba). Di samping itu, adegan perkelahian (satu lawan satu) dapat menggambarkan benyaknya perguruan bela diri, khususnya pencak silat, berikut ragam jurus yang ada. Belum lagi, bermacam ajian kesaktian yang hingga kini masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Jawa.

Dengan berbagai potensi yang dimilikinya itu ketoprak layak diposisikan sebagai gerbang atau etalase kebudayaan Jogja. Dalam sekali penampilannya, pemda dapat mengekspos banyak aspek kehidupan sekaligus promosi banyak komoditas pariwisata.

Saptopo B Ilkodar Anggota Dagelan Mataram Baru, dan dosen Fisip UPN Veteran Yogyakarta.

Taken from:
Harian KOMPAS, Jawa Tengah, Rabu, 24 April 2002

Sastrawan...

Sastrawan, Riwayatmu Kini...

Bagai Jamur di Musim Hujan, pertumbuhan sastrawan pun menggeliat. Tepatnya sastrawan telah berdispora, memenuhi ruang-ruang hati penikmat sastra. Bukan hanya di Ibu kota, tapi hampir di seluruh pelosok negri. Sebut saja di kota Medan yang katanya sudah menjadi kota Metropolitan ini.

Munculnya sastrawan-sastrawan baru tak dibatasi oleh usia maupun gender. Suatu saat jika bertandang ke Taman Budaya, di sana kita akan menemukan individu atau kelompok orang yang saling berbagi tentang kecintaan yang sama terhadap dunia Sastra. Mereka hanya sebagian kecil dari sastrawan Sumatera Utara. Masih banyak sastrawan-satrawan lain yang menelorkan karya sastra dalam kesendirian baik dalam bentuk puisi maupun cerpen.

Tolak ukur dari kesuksesan dan legalitas seorang sastrawan, terkait dengan “frekuensi dan kualitas muat” dari karya-karya mereka, khususnya pada media-media cetak, baik lokal mau pun nasional. Ada apa dengan sastra koran di tahun 2009 ini? Benarkah sastra koran hampir usai?(sesuai dengan kalimat Budi P Hetees pada Rebana Harian Analisa, minggu 1 Februari 2009).

Suatu kondisi yang dilematis memang. Ketika para sastrawan menggeliat, koran-koran besar malah menutup ruang yang tersedia untuk memuat buah-buah karya daripara sastrawan lintas generasi. Bagaimana selanjutnya? Haruskah para sastrawan itu menutup wajahnya dengan ke dua telapak tangan untuk menutupi kenyataan, dia tak lagi seorang sastrawan? Ataukah berhenti mendengarkan setiap denyut jantungnya, yang selalu mengalirkan darah sastra ke seluruh pembuluh darahnya?

Kecintaan pada dunia sastra, harusnya tak pudar oleh ditutupnya ruang-ruang sastra pada Media Indonesia, Republika, dan koran-koran lain yang telah dan akan menutup diri untuk sastra dengan alasan manajerial dan bisnis. Tidak perlu bertanya mengapa dan kenapa bisnis menjadi hal yang utama dalam segala aspek, sebab itu memang sudah menjadi hukum ekonomi yang tidak bisa diingkari.

Kondisi seperti ini, seharusnya disikapi dengan baik oleh sastrawan. Tepatnya di terima dengan legowo (meski sempat kecewa). Kita bisa melihat perkembangan sastra dari sisi lain. Sastra Koran memang menjadi media yang paling efektif digunakan oleh sastrawan untuk menunjukkan eksistensi dan kecintaan terhadap dunia tulis menulis yang digawangi oleh unsur budaya. Masih ada bidang lain yang bisa dirambah dengan tetap memperlihatkan cita rasa sastra yang legit. Salah satunya adalah dengan menulis novel atau buku antologi bergenre sastra.

Tidak sedikit rekan-rekan sastrawan kita, mendulang sukses dari novel bergenre sastra. Sebut saja pemuda asal Belitong Andrea Hirata dengan tetraloginya. Bahkan Laskar Pelanginya konon terjual secara best seller, menukik bersama kisah sukses film bertajuk sama, Laskar Pelangi.

Ada lagi Habibburahman atau Kang Abik dengan Ayat-Ayat Cinta yang mendulang sukses baik novel dan film nya. kemudian Ketika Cinta Bertasbih juga laris manis. Kini sedang digarap menjadi sebuah film. Diharapkan mencicipi madu yang sama dengan Ayat-ayat Cinta.

Itu masih segelintir dari banyak kesuksesan. Masih ada Helvy Tiana Rosa, NH. Dini, Pipit Senja dan Tuti Senja yang lebih pantas kita sebut Bunda Satra Indonesia. Tokoh lain yang layak diperhitungkan di jagad sastra novel ada Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan Dewi Lestari. Ketiganya adalah sebagian kecil dari Srikandi Sastra Indonesia yang sukses dengan novel-novelnya.

Dunia internasional, juga kini tak lepas dari kesuksesan karya sastra. Tersebut kisah seorang Vampir yang jatuh cinta dalam film Twilight, diangkat dari novel sastra laris berjudul sama yang kini sedang di putar di bioskop-bioskop tanah air. J. K. Rowling sendiri ketika menulis serial Harry potter yang super sukses, tetap berpalung pada genre sastra. Ada lagi kesuksesan peraih nobel sastra dunia Orhan Pamuk dengan novelnya berjudul My Name is Red.

Sastrawan tak akan lekang oleh waktu, zaman, apalagi hanya oleh diclosingnya ruang sastra pada beberapa media cetak. Tak tertutup kemungkinan kalau kelak -yang sudah dimulai- kecenderungan karya-karya sastralah yang layak dijadikan menjadi sebuah skenario layar lebar. Kita akan menjadi sastrawan-sastrawan yang menorehkan pena di dalamnya.

Memang tidak dapat dipungkiri, menuliskan karya sastra dalam bentuk novel, memiliki tingkat kesulitan berbeda dengan menghasilkan karya sastra dalam bentuk koran. Sulit, bukan berarti tidak bisa. Kesulitan itu akan terbayar dengan tingkat kepuasan dan kebahagiaan seorang sastrawan. Di samping itu, bentuk karya dalam bentuk buku atau novel, tentu lebih dijamin keabadiaanya. Karena tak usai ketika koran itu usai di baca.

Semuanya itu, akan dapat terwujud jika kita mau bermetamorfosis. Bermetamorfosis menuju ciri sastra yang up to date. Karya sastra yang tetap mengusung nilai- nilai luhur dan irama serta warna milik sastrawan era 50-an, 60-an hingga 90-an. Kini kita adalah saksi zaman di era 2000-an yang memberikan kesaksian pda zamannya. Memberikan warisan tentang kondisi sekarang, terhadap generasi mendatang.

Sastra adalah sebuah disiplin ilmu. Berkembang sesuai zaman dan peruntukannya. Berpegang teguh pada aturan-aturan yang tak kaku. Bersifat elastis sesuai dengan tuntutan zaman. Penikmat karya sastra masa kini, tentu bukan lagi mereka yang hidup pada zaman Chairil Anwar, Sultan Takdir Alisjahbana, ataupun para sesepuh sastra yang lain. Kini kita hidup pada zaman dimana para penikmat sastra menginginkan suguhan karya sastra, diracik dengan resep sastra standar, tapi dengan bumbu masa kini. Sebab itu belajar dan terus belajar adalah jenjang upaya untuk sebuah proses pencapaian menjadi seorang sastrawan sejati.

Sebenarnya karya sastra juga dapat dijadikan sarana sumber informasi yang akurat, tentang kondisi yang sedang terjadi saat ini. Bahkan lebih dari itu, dapat digunakan sebagai sarana sumbangsih kita terhadap Ibu pertiwi. Misalnya karya sastra yang didalamnya berkisah tentang kondisi pemanasan global (global warming), meluasnya peredaran narkoba, berjangkitnya virus HIV, krisis ekonomi global, perkembangan teknologi informasi atau bidang-bidang lain. Untuk itu, seorang satrawan harus mengup date diri nya sendiri.

Dengan semua kondisi ini, sebenarnya kita masih tetap menaruh harapan besar pada sastra Koran. Baik yang masih menyediakan ruang untuk sastra (seperti Rebana pada harian Analisa) maupun koran-koran lain. Bahkan kalau bisa jujur, kita masih berharap kalau koran-koran yang sudah meniadakan ruang sastra akan “menyadari kekeliruannya” dan menghadirkan kembali ruang sastra dalam terbitannya.

Alangkah indahnya, andai sastra koran (sastra oplah) dan sastra novel (sastra eksemplar) dapat sama-sama berdispora. Semoga. Andai pun tidak, sastrawan abadi akan tetap berdispora. Saling bergandengan tangan. Bersatu dan saling berbagi ilmu. Dengan demikian tak perlu kita berdendang dengan irama tembang lawas tersohor Bengawan Solo milik Gesang yang liriknya kita gubah dengan “Sastrawan, riwayatmu kini…”

Sebab sastrawan, tidak akan sekedar riwayat, tetapi sebagai sekelompok orang yang tetap berkarya, dulu, sekarang dan nanti.

Oleh : Butet Benny Manurung
Taken From:
http://www.analisadaily.com

Karya Sastra Langka


Novel Sastra Langka Laku 2 Milyar

Novel sastra edisi pertama yang jarang didapat karya Emily Bronte, Wuthering Heights, terjual pada perlelangan seharga £114.000 - lebih dari dua kali harga perkiraan atau setara kurang lebih 2 milyar [1 GBP = 19.145, 114.000 x 19145 = 2.182.530.000].

Buku edisi tahun 1847 tentang kisah cinta tragis dua tokoh Bronte diperkirakan terjual antara £30.000 dan £50.000.

Juru bicara rumah lelang Bonhams mengatakan novel itu dibeli oleh seorang pembeli yang tidak diungkapkan namanya dan akan tetap disimpan di Inggris.

Buku itu - satu-satunya novel karya Emily Bronte - pertama kali diterbitkan dengan menggunakan nama alias pria, Ellis Bell.

Bronte - yang meninggal akibat tuberkulosis (TBC) pada tahun 1848 di usia 30 tahun - menggunakan nama pena itu karena dia khawatir pembeli akan menjauhi karyanya karena dia adalah penulis perempuan.

Novel itu mengilhami sejumlah versi layar lebar dan televisi, serta lagu terkenal dari penyanyi Kate Bush yang dirilis pada tahun 1978.

Pemilik buku itu sebelumnya, Anne Reid, diberikan buku itu ketika kecil oleh kakeknya. Novel Bronte ini sudah selama empat generasi disimpan oleh keluarganya.

Reid, mahasiswi di Akademi Seni London, berniat menggunakan uang hasil penjualan buku tersebut untuk mencapai impiannya untuk menjadi seorang seniman.

taken from:
http://www.rileks.com

Shakespeare?!?!?!


Siapa penulis asli Shakespeare?


Hampir 300 orang telah menandatangani "deklarasi keraguan yang beralasan", yang mereka harap akan mendorong penelitian lebih lanjut tentang isu ini.

"Saya percaya dengan teori yang mengatakan karya-karya itu adalah kolaborasi sekelompok orang. Saya tidak yakin satu orang saja mampu melakukannya," kata Sir Derek Jacobi.

Mereka mengatakan tidak ada catatan bahwa Shakespeare menerima bayaran atas karya-karyanya.

Sementara dokumen-dokumen yang ada tentang Shakespeare, yang dilahirkan di kota Stratford-upon-Avon pada tahun 1564, tidak membuktikan bahwa dia seorang penulis.

Khususnya surat wasiat yang dia tulis, yang meninggalkan istrinya "tempat tidur nomor dua terbaik saya dengan perabotan", dan tidak berisi kalimat-kalimat indah yang membuat dia terkenal dan tidak juga menyebut buku, naskah drama atau puisi karyanya.

Keluarga buta huruf

Shakespeare Authorship Coalition yang beranggotakan 287 orang mengatakan drama-drama Shakespeare yang banyak menampilkan rincian tentang hukum tidak mungkin ditulis oleh William Shakespeare, pria kelas bawah, yang berasal dari keluarga buta huruf.

Kelompok ini bertanya mengapa sebagian besar karya drama Shakespeare berlatar keluar kelas atas atau bangsawan, dan mengapa kota Stratford-upon-Avon tidak pernah disebut di dalam karya-karya tersebut.

"Bagaimana dia bisa mengetahui kehidupan bangsawan Italia, dan menggambarkan rinciannya dengan akurat?" tambah kelompok itu.

Teori konspirasi tentang penulis karya Shakespeare yang sebenarnya sudah beredar sejak abad ke-18. Berdasarka teori-teori itu, beberapa orang, termasuk penulis drama Christopher Marlowe, bangsawan Edward de Vere dan Francis Bacon dikatakan menggunakan Shakespeare sebagai nama samaran.

"Menurut saya perkiraan terkuat kemungkinan adalah Edward de Vere, karena si penulis menulis tentang pengalamannya, kehidupannya dan sifatnya," kata Sir Derek.

Deklarasi itu, yang diresmikan di Teater Minerva di Chichester, Inggris selatan, juga memuat nama 20 tokoh penting yang pernah meragukan karya Shakespeare, termasuk Mark Twain, Orson Welles, Sir John Gielgud dan Charlie Chaplin.

'Pertanyaan sah'

Salinan deklarasi ini diserahkan kepada Dr William Leahy, dekan Sastra Inggris di Universita Brunel di London dan penyusun jurusan S2 pertama tentang studi tenang siapa penulis karya Shakespeare, yang akan diluncurkan akhir bulan ini.

"Sejak dua tahun ini saja berjuang untuk memasukkan topik ini ke dalam pembahasan akademisi," kata Dr Leahy.

"Ini adalah pertanyaan sah, karena ada misteri dan pembahasan intelektual akan mendekatkan kita ke inti masalah ini."

"Saya tidak mengatakan kami akan mendapatkan semua jawabannya. Bukan itu intinya. Tentu saja, di situ letak pertanyaannya."

taken from:
http://www.bbc.co.uk

Sastra Indonesia

Sastra Indonesia di Mata Dunia

DALAM pergaulan sastra dunia, sastra Indonesia adalah sebuah terra in cognita, ruang gelap yang tak diketahui dan tidak dikenal. Jika pun ada karya sastra Indonesia yang dikenal dan sempat disebut-sebut dalam pergaulan sastra dunia, semuanya selalu serbaparsial, tidak utuh dan menyeluruh. Karya sastrawan Indonesia di mata dunia selalu pada akhirnya hanya berhenti pada nama itu-itu saja, Chairil Anwar, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, W.S. Rendra, atau Y.B. Mangunwijaya. Karya mereka pun sebenarnya lebih dikenal hanya di kalangan dunia akademis atau universitas yang (kebetulan) memiliki program kajian bahasa dan sastra Indonesia, ketimbang di publik yang jauh lebih luas.

Dalam sejumlah hal, musababnya bukanlah karena karya sastra Indonesia tidak menarik di mata dunia. Akan tetapi, dalam pergaulan sastra masyarakat internasional, pembacaan atas sebuah karya sastra dari negeri yang asing dan jauh selalu menjadi menarik serta menimbulkan kepenasaranan ketika terdapat sejumlah referensi ihwal perkembangan karya sastra di negeri itu secara lebih menyeluruh sebagai suatu tradisi. Sialnya, inilah yang tidak dimiliki sastra Indonesia, sehingga ia hanya dibaca kalangan terbatas di dunia akademik.

Tak adanya kemauan pemerintah untuk memperkenalkan kebudayaan dan karya sastra Indonesia ke mata dunia, mungkin bisa dijadikan salah satu musababnya. Tak hanya itu, sejumlah dosen dan peneliti sastra Indonesia di negara-negara Eropa, misalnya, sering tak bisa lagi membaca perkembangan sastra Indonesia mutakhir karena Perpustakaan Kedutaan Besar Indonesia sangat langka mengoleksinya. Paling tidak, bahan-bahan yang mereka perlukan sering tidak mencukupi. Musabab lainnya adalah tak ada lembaga yang berkonsentrasi pada penerjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa asing. Baik yang dikerjakan lembaga swasta apalagi pemerintah.

Di lain sisi, terdapat juga kenyataan berikutnya mengapa sastra Indonesia di mata dunia sering terbaca sebagai perkembangan yang parsial. Karena Indonesia adalah sebuah terra in cognita, maka sedikit saja ada cahaya penerang langsung mendapat tempat dalam pergaulan sastra dunia seraya mengandaikan bahwa lewat cahaya penerang itulah sastra Indonesia bisa tampak. Tentu saja ini tak salah, paling tidak, ada sedikit celah untuk membaca perkembangan sastra Indonesia. Hanya soalnya kemudian, cahaya penerang itu menganggap dirinya sebagai representasi dari keseluruhan perkembangan sastra Indonesia.

Dengan kata lain, pihak atau komunitas yang memiliki akses untuk masuk ke pergaulan sastra dunia, lewat lobi-lobi mereka yang canggih ke berbagai jaringan lembaga asing dengan isu-isu yang bisa "dijual" (dari mulai hak asasi manusia, pluralisme, hingga demokratisasi), terutama ke lembaga-lembaga jaringan dana internasional, sering memainkan politik citraan bahwa merekalah cahaya penerang bagi mata dunia untuk menatap sastra Indonesia sehingga terjadinya dominasi akses.

Mungkin tak apa, seandainya saja dominasi akses ini tidak dibarengi tendensi yang melulu berpusat pada kepentingan kelompok mereka. Yang kini terjadi adalah ketika akses ini hanya dipakai untuk membawa karya sastra Indonesia ke mata dunia menurut ukuran politik citraan yang mereka mainkan sehingga dalam pergaulan sastra dunia karya para sastrawan yang dikenal selalu hanya terbatas pada mereka yang berada di lingkaran kelompok tersebut. Sedangkan di luar itu sastra Indonesia tetap sebagai terra in cognita. Maka, yang terjadi kemudian adalah pemahaman mata dunia terhadap sastra Indonesia yang tak pernah lengkap sebab hanya berasal dari satu sumber yang mendominasi akses.



DEMIKIAN sejumlah pemikiran yang mengapung dalam seminar Jakarta Internasional Literature Festival (Jilfest) yang berlangsung di Jakarta, 12 Desember 2008. Seminar dalam festival yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Komunitas Cerpen Indonesia (KCI) ini merupakan rangkaian acara dari Jilfest yang berlangsung 11-14 Desember 2008. Festival ini diikuti sastrawan dan pengamat sastra dari Indonesia, Belanda, Swedia, Singapura,Portugal, RRC, dan Korea.

Meskipun tak ada tema tertentu yang dijadikan rujukan, namun festival dan seminar ini berangkat dari semangat melakukan pembacaan kritis ihwal apa dan bagaimana sastra Indonesia di mata dunia, peluang, dan tantangannya. Untuk keperluan itulah pembicara dihadirkan dari berbagai konteks yang berkorelasi ke arah itu; pandangan sejumlah pengamat sastra asing terhadap nasib karya sastra Indonesia di negara mereka, pengalaman sastrawan Indonesia yang karya-karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, dan politik sastra di Indonesia yang dalam hubungannya dengan politik jaringan untuk "menguasai" akses ke tengah pergaulan sastra dunia lengkap dengan citraan untuk meraih kepercayaan lembaga dana internasional.

Baik sastrawan dan pengamat sastra Djamal Tukimin, M.A. (Singapura) maupun Prof. Dr. Koh Young Hun (Korea) menilai karya sastra Indonesia memiliki peluang besar diterima publik sastra di negara mereka. Termasuk prospek penerbitan karya sastrawan muda Indonesia, seperti yang terjadi di Singapura dengan sambutan yang hangat pada novel Ayat-ayat Cinta (Habbiburahman Shirazi) dan Laskar Pelangi (Andrea Hirata).

"Padahal, dalam waktu yang bersamaan, karya para pengarang Singapura baru diterima setelah tampak ada peningkatan mutu yang sama dengan karya para pengarang Indonesia, meski karya itu sudah lama diterbitkan. Hal ini menunjukkan memang tren dan pengaruh Indonesia jauh lebih dominan dalam mengutarakan persoalan karena ada revolusi budaya yang agresif," tutur Djamal Tukimin.

Seraya menuturkan bagaimana kuatnya pengaruh sastra Indonesia di Singapura yang telah terjadi sejak 1930-an, Djamal Tukimin mengemukakan sejumlah alasan mengapa karya sastra Indonesia mudah diterima di Singapura. Salah satunya adalah bagaimana sastrawan Indonesia memiliki sikap terbuka pada berbagai pemikiran seni. Ini berbeda dengan sastrawan Melayu yang agak feodal. Jika pun ada di antara mereka yang mulai bergeser, sastrawan Indonesialah yang memberi dan menjadi inspirasi mereka. "Pada awal abad ini masih ada dan masih muncul para sastrawan muda Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pasar di Singapura, walaupun tengah bersaing dengan karya sastra remaja yang ada," ujarnya.

Jika Djamal Tukimin lebih melihat nasib sastra Indonesia di Singapura dalam konteks peluang penerbitan, Koh Young Hun melihat sejumlah celah yang bisa dijadikan peluang bagi sastra Indonesia untuk diterima publik yang lebih luas di Korea sekaligus juga tantangan yang kerap dijumpai selama ini. Seiring dengan mulai diperkenalkannya bahasa Indonesia di perguruan-perguruan tinggi di Korea tahun 1964, kajian terhadap budaya dan sastra Indonesia terus dilakukan. Termasuk ketika Koh Young Hun menerjemahkan sejumlah karya Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Korea. Demikian juga dengan Kim Jang Gyen dan Lee Yeon yang melakukan penelitian karya-karya Mochtar Lubis dan N.H. Dini. Selain itu, berbagai lembaga dan universitas pun kerap mengundang sastrawan Indonesia ke Korea.

Sastra dan bahasa sebagai pintu gerbang untuk mengenal tradisi dan budaya di Indonesia, paling tidak bagi Korea menjadi semacam kebutuhan yang niscaya dalam konteks investasi seperti penanaman modal. "Orang-orang Korea yang ingin menanam modal di Indonesia perlu memahami latar belakang budaya di Indonesia. Tidak sedikit penanaman modal dari Korea yang kurang berhasil gara-gara tidak dipahaminya budaya di negeri ini. Mereka yang cuma membawa modal dan teknologi punya kemungkinan besar gagal," ujar Guru Besar Hankuk University of Foreign Studies Seoul, Korea ini.

Sejumlah kesempatan yang berkaitan dengan perkenalan sastra Indonesia di Korea dapat dikatakan berhasil. Akan tetapi, masyarakat Korea umumnya belum begitu tahu unggulnya khazanah sastra Indonesia. Dengan perkataan lain, khazanah sastra Indonesia memiliki taraf yang tinggi dan berpeluang digemari kalangan pembaca dunia. Oleh karena itu, ia berharap hendaknya pemerintah Indonesia memberi perhatian yang istimewa untuk memperkenalkan sastra Indonesia ke luar negeri, misalnya, dengan mendirikan lembaga yang menerjemahkan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa-bahasa asing atau menunjang lembaga swasta yang berhubungan dengan itu.



NASIB sastra Indonesia di mata dunia seolah hadir tanpa referensi yang utuh, baik pengenalan (promosi) ihwal tradisi perkembangannya, terlebih lagi tentang kebudayaan Indonesia itu sendiri. Berbeda dengan pengenalan seni pertunjukan tradisi Indonesia yang selalu diboyong pemerintah ke berbagai event di dunia internasional, pemerintah terkesan tidak memandang karya sastra sebagai aset yang perlu dipromosikan. Mata dunia bisa dengan jelas mengenal berbagai seni tradisi pertunjukan Indonesia, bahkan hingga makanannya, tetapi tidak tentang karya sastranya.

Ketidaktahuan masyarakat internasional pada sastra Indonesia inilah yang dengan sedih diceritakan cerpenis dan novelis Putu Wijaya, ketika di Berlin seorang penyair kulit hitam Amerika Serikat bertanya kepadanya, "Apakah di Indonesia ada penyair?"

Putu juga menuturkan pengalamannya yang lain ketika seorang penerbit di Berlin tertarik menerbitkan cerpen-cerpennya. Akan tetapi, penerbit itu mengatakan agar Putu jangan berharap terlalu banyak bahwa karya akan disambut masyarakat di Jerman. "Beberapa karya Pramoedya dan Mangunwijaya sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman, tetapi di pasar tidak bunyi. Itu tidak disebabkan karya-karya mereka tidak menarik, tetapi karena masyarakat Jerman tidak memiliki referensi bahwa di Indonesia ada kehidupan sastra," ujar Putu.

Nasib sastra Indonesia di mata dunia pada bagian lain juga menyimpan fenomena yang lain, ketika akses menuju pergaulan sastra dunia internasional itu dilakukan oleh pihak atau komunitas yang melakukan semacam strategi citraan. Citraan yang diembuskan dikaitkan dengan isu-isu aktual, seperti feminisme, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi kebudayaan. Dengan strategi citraan inilah, komunitas tersebut bisa merebut simpatik. Inilah politik sastra yang terjadi di Indonesia demi keperluan membangun akses menuju ke pergaulan sastra dunia. Bagian dari strategi citraan ini tampak ketika sebuah karya dinobatkan sebagai representasi dari pembenaran isu yang tengah dimainkan. Yang terjadi kemudian, di tengah minimnya pengenalan terhadap sastra Indonesia, ia dipahami dalam berbagai kejanggalan.

Lewat kajian kritis dan investigasinya yang mendalam terhadap berbagai sumber di Jerman, kritikus sastra Katrin Bandel memaparkan sejumlah permasalahan di balik popularitas Ayu Utami dengan karyanya Saman di Jerman dalam apa yang disebutnya dengan "Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa". Salah satu bagian dari politik itu adalah politik pencitraan Ayu Utami di berbagai media massa Jerman sebagai penulis (perempuan) muda Indonesia berbakat yang berani menulis hal-hal tabu yang sulit diterima masyarakat negaranya yang "kolot" dan "patriakis".

Menurut Katrin, betapa Ayu Utami dan Komunitas Utan Kayu direpresentasikan dengan cara yang begitu tendensius dan menyesatkan di beberapa media Jerman dan negara di Eropa. Maka, lalu muncul semacam pertanyaan, apakah pembaca Eropa begitu mudah tertipu? Pembaca Jerman bebas membentuk pendapatnya sendiri, tetapi kebebasan itu ada batasnya ketika pembaca Jerman tidak mengenal dunia sastra Indonesia.

"Contoh menarik adalah resensi Birgit Kob di radio Jerman Deutschlandradio, 17 Desember 2007. Ia membandingkan novel Saman dengan puzzle yang tidak berhasil diselesaikan dan tidak berbentuk. Namun, kebingungan itu tidak membuatnya berkesimpulan bahwa novel itu kurang berhasil. Akan tetapi, justru dipahaminya sebagai bagian dari pengalaman baca sebagai pembaca Barat yang berhadapan dengan karya asing. Maka, kalau Saman dipilih di antara sekian banyak karya sastra Indonesia untuk disuguhkan pada pembaca Jerman, wajar kalau cara bercerita ala Saman-lah yang akan dianggap pembaca Jerman sebagai cara bercerita ’khas Indonesia’," ucap Katrin Bandel. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 13 Desember 2008
Taken from:
http://cabiklunik.blogspot.com

Tuesday 17 March 2009

Photo of the Week


(click it to see the larger picture)

Kecil
photographed by sedik

Kita harus merasa kecil
Kita tak ada apa-apanya
Dan akan musnah
Sirna

Poem of the Week

The Freedom of the Moon
by Robert Frost

I've tried the new moon tilted in the air
Above a hazy tree-and-farmhouse cluster
As you might try a jewel in your hair.
I've tried it fine with little breadth of luster,
Alone, or in one ornament combining
With one first-water start almost shining.

I put it shining anywhere I please.
By walking slowly on some evening later,
I've pulled it from a crate of crooked trees,
And brought it over glossy water, greater,
And dropped it in, and seen the image wallow,
The color run, all sorts of wonder follow.

Lyric of the Week


Love Will Show You Everything
(OST If Only)

Today, today I bet my life
You have no idea
What I feel inside
Don't, be afraid to let it show
For you never know
If you let it hide

I love you, you love me
Take this gift and don't ask why
Cause if you, will let me
I'll take what scares you and hold it deep inside
And if you, ask me why,
I'm with you and why I'll never leave
Love will show you everything

One day,
when youth is just a memory
I know,
You'll be standing right next to me

I love you, you love me
Take this gift and don't ask why
Cause if you, will let me
I'll take what scares you and hold it deep inside
And if you, ask me why
I'm with you and why I'll never leave
My love will show you everything
My love will show you every - thing, thing,
My love will show you, everything
Our love will show us everything


performed by Jennifer Love Hewitt

click the link below to get the song

Jennifer Love Hewitt - Love Will Show You Everything

Monday 9 March 2009

Photo of the Week


(click it to see the larger picture)

Plengkung Gading
photographed by sedik

Kejayaan masa lampau takkan pernah terulang
Lihat sekitar
Renungkan
Dan percayalah

Poem of the Week

Child Moon
by Carl Sandburg

The child's wonder
At the old moon
Comes back nightly.
She points her finger
To the far silent yellow thing
Shining through the branches
Filtering on the leaves a golden sand,
Crying with her little tongue, "See the moon!"
And in her bed fading to sleep
With babblings of the moon on her little mouth.

Lyric of the Week



If Tomorrow Never Comes

Sometimes late at night
I lie awake and watch her sleeping
She's lost in peaceful dreams
So I turn out the lights and lay there in the dark
And the thought crosses my mind
If I never wake in the morning
Would she ever doubt the way I feel
About her in my heart

If tomorrow never comes
Will she know how much I loved her
Did I try in every way to show her every day
That she's my only one
And if my time on earth were through
And she must face the world without me
Is the love I gave her in the past
Gonna be enough to last
If tomorrow never comes

'Cause I've lost loved ones in my life
Who never knew how much I loved them
Now I live with the regret
That my true feelings for them never were revealed
So I made a promise to myself
To say each day how much she means to me
And avoid that circumstance
Where there's no second chance to tell her how I feel

If tomorrow never comes
Will she know how much I loved her
Did I try in every way to show her every day
That she's my only one
And if my time on earth were through
And she must face the world without me
Is the love I gave her in the past
Gonna be enough to last
If tomorrow never comes

To tell that someone that you love
Just what you're thinking of
If tomorrow never comes

performed by Ronan Keating

click the link below to get the song

Ronan Keating - If Tomorrow Never Comes


Sunday 8 March 2009

A Small Piece Land of Art Left in Town (task 5)

Patangpuluhan is a small village located in the south west of Jogjakarta. It is located in Wirobrajan district, a part of Jogjakarta city. As we know, the location is in the town so that it has flat land with two rivers as the border of the village. The first is Widuri River; it is located on the west side of the village, border on Kasihan Bantul. The second river on the east side and border on Mantrijeron district is called Winongo, it’s so nice, right? Not only the rivers, but Patangpuluhan also has the fertile land, even tough it has no rice field or other field. It can be seen and felt from the green atmosphere around the village.

Surely, people in Patangpuluhan are very welcome to the guest, both domestic and foreign tourist. If you visit this village, you may stay in the hotels spread around the village or if you want to be the part of the village you may stay in the villagers’ house. Of course, it is cheaper than the hotel rate. You may ride in andong or becak even gerobag sapi to go around this village if you want to “save” your energy.

Now, I will show you the main reason why I suggest you to visit the village. Patangpuluhan is heaven for traditional art lovers. If I may ask you, what kind of traditional art do you like? If you say Javanese Dances, you find the right place, and if you say I love Javanese Theatre or we call it Kethoprak, you have chosen the right place to spend your holiday. You can enjoy the performance or just hang out with the players during and after the practice sessions. In other word, we can say that we can find almost all of the traditional art activity in this village like Javanese Dances and Kethoprak, as I said above. The others are traditional Batik production, painting gallery, photo gallery, and many art galleries fulfilled with any kind of handicraft and souvenir. You can purchase things from the gallery as the gift for your friend, colleague or family.

I will never forget to tell you that you can enjoy some traditional food also. Gudeg, as the icon of Jogjakarta, is the most favorite here, but you have to try the other traditional food also. Sego Pecel is not less delicious than Gudeg, so I suggest you to try it. Brongkos is also available here. Therefore, make sure that you enjoy at least one of your lunch in Patangpuluhan by trying this traditional meal. After the sun goes down, you can enjoy so many traditional snacks and beverages in Angkringan. Jahe, wedang uwuh, teh poci, mendoan, ceker, sate usus and many others are available here. It is cheap and absolutely delicious.

Well, there will not be enough time to tell you about Patangpuluhan. Thus, what are you waiting for? Visit Patangpuluhan or you will be one of the most regretful tourist ever.

Photo Gallery


location


gerobag sapi


andong


becak


tari bedhoyo


wayang kulit


kethoprak


art gallery


welcoming the guest


angkringan


sego pecel


gudeg


brongkos

Thursday 5 March 2009

Kakek Tewas Mengenaskan

Setelah beberapa hari lalu sejumlah warga tewas diterkam harimau, kini ada lagi insiden serupa. Namun, sang pemangsa adalah penunggu rimba yang lain, yakni gajah.

Peristiwa ini terjadi Rabu (4/3/2009) dini hari tadi sekitar pukul 01.00 WIB di Jl Damai, Desa Sebangar, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

Seorang warga bernama Jalinus (83) tewas mengenaskan setelah tubuhnya diinjak-injak gajah. Beberapa potongan tubuhnya masih dicari warga.

"Tadi pagi melintas segerombolan gajah di desa tersebut. Saat melintas, gajah ini mengamuk dan merusak rumah warga yaitu rumah korban," ujar Kapolsek Mandau, AKP Dedi Nata saat dihubungi detikcom, Rabu (4/3/2009).

Kapolsek menjelaskan, sekitar pukul 01.00 WIB melintas segerombolan gajah di desa tersebut. Saat melintas, gajah ini mengamuk dan merusak rumah warga yaitu rumah korban. Rumah semi permanen ini hancur porak poranda dihajar gajah. "Saat itu penghuninya lagi tidur," jelas Dedi.

Karena terkejut ada gajah masuk, korban sebenarnya ingin melarikan diri. Namun dia terjatuh dan kakinya diseret oleh gajah. Setelah diseret sepanjang 40 meter dari rumahnya, lalu seluruh tubunya diinjak-injak gajah. Kondisi korban sangat mengenaskan di mana tubuhnya bercerai-berai.

"Kondisi kepala pecah dan yang tersisa di bagian tubuhnya hanya kaki dan tangannya. Selebihnya, sudah terpecah-pecah," kata Dedi.

Dia menambahkan, tadi pagi sekitar pukul 06.00 WIB, warga setempat sudah memberi bantuan dengan mengambil organ tubuhnya yang masih kelihatan.

"Yang bisa diambil baru kaki dan tangan dan sebagian tubuhnya. Sedang organ tubuh lainnya masih dicari warga," pungkasnya.

taken from detik.com

Tuesday 3 March 2009

Photo of the Week


(click it to see the larger picture)

Pohon
photographed by sedik

Kadang kita merasa selalu sendiri
Seperti pohon yang meranggas
Walaupun pohon-pohon lain tetap dengan daun-daunnya
Itu karena kita selalu berpikir bahwa sendiri itu mati
Justru sebaliknya!!!

Poem of the Week

I Know Why the Caged Bird Sings
by Maya Angelou

The free bird leaps
on the back of the win
and floats downstream
till the current ends
and dips his wings
in the orange sun rays
and dares to claim the sky.

But a bird that stalks
down his narrow cage
can seldom see through
his bars of rage
his wings are clipped and
his feet are tied
so he opens his throat to sing.

The caged bird sings
with fearful trill
of the things unknown
but longed for still
and is tune is heard
on the distant hillfor the caged bird
sings of freedom

The free bird thinks of another breeze
an the trade winds soft through the sighing trees
and the fat worms waiting on a dawn-bright lawn
and he names the sky his own.

But a caged bird stands on the grave of dreams
his shadow shouts on a nightmare scream
his wings are clipped and his feet are tied
so he opens his throat to sing

The caged bird sings
with a fearful trill
of things unknown
but longed for still
and his tune is heard
on the distant hill
for the caged bird
sings of freedom.